INDONESIA HISTORY, MHI - Gerakan
30 September (dalam
dokumen pemerintah tertulis Gerakan 30 September/PKI, sering
disingkat G30S/PKI), Gestapu (Gerakan September
Tiga Puluh), atau juga Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah
sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam pada tanggal 30 September sampai awal bulan selanjutnya (1 Oktober) tahun 1965 ketika tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa
orang yang lain dibunuh dalam suatu usaha kudeta (yang hampir sekaligus).
Kejadian (Peristiwa)
Pada 1 Oktober 1965
dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam
upaya kudeta yang
disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa)
yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung.
Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian
mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.
Isu Dewan
Jenderal
Pada
saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan
Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat
yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya.
Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa
untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang
tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi
tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani,
Panjaitan, dan Harjono.
Isu Dokumen Gilchrist
Dokumen
Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk
Indonesia Andrew Gilchrist beredar hampir bersamaan
waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak
disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah
pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan
adanya "Our local army friends" (Teman tentara lokal kita)
yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak
Barat.
Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI
kepada tentara untuk "ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika
Serikat mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber, salah satunya seperti
yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian
Upheaval", yang dijadikan basis skenario film "The Year of
Living Dangerously", ia sering menukar data-data apa yang ia kumpulkan
untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita.
Isu
Keterlibatan Soeharto
Hingga saat
ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan
tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto
yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima
Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda
dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul
Latief di Rumah Sakit
Angkatan Darat.
Meski
demikian, Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa ini.
Banyak penelitian ilmiah yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional
mengungkap keterlibatan Suharto dan CIA. Beberapa diantaranya adalah, Cornell
Paper, karya Benedict R.O'G. Anderson and Ruth T. McVey (Cornell
University), Ralph McGehee (The Indonesian Massacres and the CIA), Government
Printing Office of the US (Department of State, INR/IL Historical Files,
Indonesia, 1963–1965. Secret; Priority; Roger Channel; Special Handling), John
Roosa (Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup
d'État in Indonesia), Prof. Dr. W.F. Wertheim (Serpihan Sejarah Thn 1965 yang
Terlupakan).
Para Korban
Keenam
pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
- Letjen TNI Ahmad
Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi
Tertinggi)
- Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II
Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
- Mayjen TNI Mas
Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang
Perencanaan dan Pembinaan)
- Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I
Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
- Brigjen TNI Donald
Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
- Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur
Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
Jenderal
TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran
utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan
dia, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha
pembunuhan tersebut.
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober 1965.
Selain itu
beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
- Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal
kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena)
- Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
- Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Pasca Peristiwa
Pascapembunuhan
beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu
studio RRI di
Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang
terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman
tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota
“Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan
pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.
Di Jawa
Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI membunuh Kolonel Katamso (Komandan Korem
072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta).
Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh
karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada
tanggal 1
Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jenderal PKI Aidit menanggapi
pembentukan Dewan Revolusioner oleh
para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di
Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada
tanggal 6
Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan
nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya,
dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera
menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung
"pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata.
Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni Soviet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno:
"Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk
mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh
minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap
tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara
mendalam."
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah ;
"Saya perintahkan kepada Jenderal
Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat pimpinannya saya berikan kepadamu,
buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan daripada Republik Indonesia, Angkatan
Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca
Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri di atas Trisakti, yang sama sekali
berdiri di atas Nasakom, yang sama sekali berdiri di atas prinsip Berdikari,
yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK.
Manipol-USDEK telah ditentukan oleh
lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan negara Republik Indonesia. Dan oleh
karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada negara Republik Indonesia, maka
dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan
Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau
kita berdiri benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah
revousi kita bisa jaya.
Soeharto, sebagai panglima Angkatan
Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya perintahkan engkau, kerjakan
apa yang kuperintahkan kepadamu dengan sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu
beserta kita dan beserta engkau!"
Pembantaian di Indonesia 1965–1966
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana pada bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha untuk menghindari pengutukan atas pembantaian orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rezim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."
Penangkapan
Simpatisan PKI
Beberapa
bulan setelah peristiwa ini, seluruh anggota dan pendukung PKI, orang orang
yang diduga anggota dan simpatisan PKI, seluruh partai kelas buruh yang
diketahui dan ratusan ribu pekerja serta petani Indonesia yang lain dibunuh
atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi.
Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa
Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan
November) dan Bali (bulan
Desember). Jumlah orang yang dibantai belum diketahui secara pasti – perkiraan
yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut
dua sampai tiga juta orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang
menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan
dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi
muslim sayap-kanan seperti
barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan
massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai
Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di
tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir
1965, antara lima ratus ribu sampai dengan satu juta anggota dan
pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu
lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama
sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA menangkapi
semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji
terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan
itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan
persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembap
membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada
kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat.
Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Di
pulau Bali,
yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi
korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku
pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter
Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau
dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di
mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang
sudah hangus.
Di
daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka
untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan
rasialis "anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai
pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian
kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling
sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi.
Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik
pada akhir 1969.
Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak
tahun 1980-an.
Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus
Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25
tahun sejak kudeta itu.
Supersemar
Kepemimpinan
PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto.
Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada
tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh
Sekretaris Kedua PKI Nyoto.
Pertemuan
Jenewa, Swiss
Menyusul
peralihan tampuk kekuasaan ke tangan Suharto, diselenggarakan pertemuan antara
para ekonom orde baru dengan para CEO korporasi multinasional di Swiss, pada
bulan November 1967. Korporasi multinasional diantaranya diwakili
perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical
Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express,
Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman
Brothers, Asian Development Bank, dan Chase Manhattan. Tim Ekonomi Indonesia
menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam
yang melimpah, dan pasar yang besar.
Hal ini
didokumentasikan oleh Jhon Pilger dalam film The New Rulers of World (tersedia
di situs video google) yang menggambarkan bagaimana kekayaan alam Indonesia
dibagi-bagi bagaikan rampasan perang oleh perusahaan asing pasca jatuhnya
Soekarno. Freeport mendapat emas di Papua Barat, Caltex mendapatkan ladang
minyak di Riau, Mobil Oil mendapatkan ladang gas di Natuna, perusahaan lain
mendapat hutan tropis. Kebijakan ekonomi pro liberal sejak saat itu diterapkan.
Hari Peringatan Gerakan 30 September (G-30-S/PKI)
Monumen Pancasila Sakti, Lubang BuayaSesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September (G-30-S/PKI). Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.
Pada 29
September – 4 Oktober 2006, para eks
pendukung PKI mengadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa
pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok
Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka
memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas
academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban
tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, dan
Putmainah.
Referensi
- Crouch 1978, hlm. 101
- https://m.liputan6.com/news/read/4076496/top-3-news-cerita-sukitman-saksi-hidup-yang-selamat-dari-lubang-buaya-g30s-pki Cerita
dari Sukitman Saksi Selamat di tragedi lubang buaya G30 September
- Artikel
Kompas bertajuk "Sukarno, Malaysia, dan PKI" tanggal Sabtu, 29
September 2007
- Soekarno, PKI
& Malaysia di Detik Forum
- (JAC Mackie, 1971, hal 214)
- Alex Dinuth "Dokumen Terpilih Sekitar G30S/PKI"
Intermasa, Jakarta 1997 ISBN
979-8960-34-3
- Setiyono, Budi; "REVOLUSI BELUM SELESAI: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965"; Nawaksara, Jakarta; 2003.
Baca Juga
- Lim
Joey Thay.
- Nawaksara 22
Juni 1966, Sidang Umum ke-IV (4) MPRS.
- Gerakan Wanita Indonesia.
- Monumen Pancasila Sakti.
- Letnan
Kolonel Untung.
- Dipa
Nusantara Aidit (DN Aidit).
- Resimen
Tjakrabirawa (Cakrabirawa).
- Lembaga Kebudayaan
Rakyat.
- Daftar
tokoh yang meninggal dalam pembersihan komunis Indonesia.
- Museum Jenderal
Besar Doktor Abdul Haris Nasution.
- Museum Sasmita Loka Jenderal
Tentara Nasional Anumerta (Museum SL-Ahmad Yani).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar