JAKARTA ,05 Pebruari 2018 16:39:13 – Banyak yang mengatakan, maraknya kasus korupsi yang menjerat para kepala daerah, adalah salah satu bukti sahih, pemilihan kepala daerah belum bisa melahirkan pemimpin yang negarawan. Pemimpin yang bekerja semata demi rakyat. Bukan elit pencari laba. Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo tidak menampik itu.
“Ini tanda atau cermin bahwa hasil Pilkada belum mampu menghasilkan semua pemimpin daerah yang memiliki kualitas leadership negarawan,” kata Tjahjo di Jakarta, Senin.
Tjahjo menambahkan, “memang tidak semua kepala daerah hasil Pilkada itu culas. Tapi sayangnya, pemimpin hasil Pilkada dengan kualitas leadership seperti negarawan hanya beberapa orang saja,Kalau pun ada yang hanya beberapa orang saja,“ kata Tjahjo.
Sementara terkait maraknya perseteruan antara kepala daerah dan wakilnya, Tjahjo mengatakan, wakil kepala daerah dari unsur atau dengan latar belakang politisi dalam sistem pemerintahan daerah memang memiliki potensi konflik. Karena pada akhirnya masing-masing akan melihat apakah punya peluang masih tetap berpasangan, atau bercerai di Pilkada berikutnya. Faktanya, lebih banyak yang pecah kongsi, ketimbang melanjutkan ‘bulan madu’ politik tetap jadi satu pasangan yang solid.
“Dalam sejarah pemerintahan daerah Indonesia, memamg asal usulnya kabupaten atau kota di Indonesia dulunya adanya adalah bekas kerajaan. Budaya-budaya pemerintahan lokal Indonesia khususnya dalam sistem kerajaan hanya ada satu pemimpin utama atau hanya ada satu matahari,” tutur Tjahjo.
Sedikit banyak, kata dia, faktor sejarah dan budaya pemerintahan Indonesia mempengaruhi sistem pemerintahan daerah di Indonesia saat ini. Karena itu perlu kajian mendalam terhadap efektivitas posisi kepala daerah dan wakilnya. Sebab kejadian perseteruan kepala daerah dan wakilnya yang berulang pada akhirnya yang dirugikan adalah masyarakat. Dampaknya pembangunan daerah menjadi terhambat.
“Bahwa dalam rangka mempercepat konsolidasi demokrasi Indonesia, maka kita perlu membangun sistem pemerintahan daerah yang kuat dan sistem yang mampu memaksa semua pihak yang terlibat dalam sistem pemerintahan mengeluarkan energi positifnya membangun daerah,” katanya.
KaDa Terjerat Korupsi, Bukan Kesalahan Sistem
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yakin Gubernur Jambi, Zumi Zola yang sekarang sudah jadi tersangka dalam kasus gratifikasi, akan kooperatif. Hanya saja ia menyayangkan, kenapa kepala daerah masih terjerat kasus korupsi. Sebab ia yakin, kepala daerah sudah paham mana saja area rawan korupsi. Jadi lebih ke mentalitas pribadi. Bukan salah sistem.
“Sistemnya sudah betul. Mereka sudah paham semua, area rawan korupsi sudah paham,” kata Tjahjo di kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam), di Jakarta.
Menurut Tjahjo, kepala daerah sudah diberi tahu, bahkan ikut dipelatihan kepemimpinan. Selain itu, mulai dari Presiden Jokowi, Menkopolhukkam hingga dirinya tidak bosan mengingatkan agar para kepala daerah dan wakilnya hati-hati dan mesti paham area rawan korupsi. Kalau kemudian masih terjadi, itu dikembalikan pada individunya masing-masing.
“Mulai dari perencanaan anggaran, ya jual beli jabatan, bolak balik Pak Presiden, Pak Menko (Menkopolhukam) sampai saya, sudah ngomong semua. Kalau sampai terjadi, masa yang disalahkan sistemnya. Kan enggak. Semua sudah rapi,” kata Tjahjo.
Tjahjo juga menyoroti soal maraknya perseteruan antara kepala daerah dan wakilnya. Masalah ini tadi dibahas dalam rapat. Pihaknya memang mencermati, di beberapa daerah terjadi perseteruan antara kepala daerah dan wakilnya yang tentu ini sangat menganggu jalannya roda pemerintahan dan pembangunan di daerah.
“Kami mencermati ada beberapa daerah yang hubungan kepala daerah dengan wakilnya tidak sinkron. Dalam konteks begitu jadi kepala daerah atau Plt, sejauh mana aturan itu dia boleh mengganti pejabat dibawahnya. Sepanjang dia berhalangan tetap, ada izin Mendagri dengan pertimbangan yang bisa kita terima. Itu saja intinya,” kata Tjahjo.
Namun kata dia, kalau urusan hukumnya, pihaknya tidak akan ikut campur. Itu bukan kewenangan pemerintah, tapi penegak hukum. ” Kita hanya sampaikan ini lho area rawan korupsi, hati-hati. Bisa kena ke menteri, bisa. Makanya kita saling mengingatkan,” katanya.
Kementerian yang dipimpinnya, lanjut Tjahjo, tidak mungkin mengawasi kepala daerah selama 24 jam penuh. Yang mengawasi, kepala daerah bersangkutan. Kembali ke individu kepala daerah masing-masing. Memang, ada wakil pemerintah pusat di daerah, yakni gubernur. Tapi gubernur juga tidak mungkin mengawasi bupati dan walikota selama 24 jam.
Presiden Jokowi saat memimpin Ratas membahas Perkembangan Kebijakan Satu Peta yang digelar di kantor Presiden, Jakarta, Senin (5/2) sore.
JAKARTA ,05 Feb 2018 – Untuk ketiga kalinya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali memimpin Rapat Terbatas (Ratas) Perkembangan Kebijakan Satu Peta yang digelar di kantor Presiden, Jakarta, Senin sore.
Dalam kesempatan itu, Presiden menagih perkembangan kebijakan satu peta dan laporan pelaksanaan implementasi di lapangan.
“Wilayah mana saja yang sudah berhasil dibuatkan satu peta, wilayah mana yang belum. Apa kendala dan hambatan-hambatan yang dihadapi dalam mewujudkan kebijakan satu peta ini,” ucapnya.
Presiden menegaskan, bahwa kebijakan satu peta sangat penting, sangat mendesak, sangat dibutuhkan untuk menyatukan seluruh informasi peta yang diproduksi oleh berbagai sektor, berbagai kementerian, dan lembaga ke dalam satu peta secara integratif, secara terintegrasi. Ia menambahkan bahwa hal ini dilakukan agar tidak terdapat lagi perbedaan dan tumpang tindih informasi geospasial.
Dengan demikian, lanjut Presiden, akan hanya ada satu referensi geospasial yang menjadi pegangan dalam pembuatan kebijakan strategis maupun penerbitan perizinan.
“Di lapangan tumpang tindih peta, tumpang tindih perizinan justru menimbulkan konflik, mengakibatkan terjadinya sengketa dan akhirnya menghambat laju perekonomian di daerah,” ungkap Presiden Jokowi seraya menunjuk contoh di Pulau Kalimantan, terdapat lebih kurang 4 juta hektare kawasan hutan tumpang tindih dengan kawasan perkebunan.
Presiden meyakini, kebijakan satu peta akan mempermudah penyelesaian konflik yang timbul akibat tumpang tindih pemanfaatan lahan, serta juga membantu penyelesaian batas daerah di seluruh tanah air.
Cermat dan Teliti
Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla saat memimpin Ratas membahas Perkembangan Kebijakan Satu Peta yang digelar di kantor Presiden, Jakarta, Senin (5/2) sore.
Presiden Jokowi yang didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla mengingatkan pekerjaan rumah yang harus segera dituntaskan dalam mewujudkan kebijakan satu peta.
“Pada Ratas 7 April 2016, saya minta untuk fokus terlebih dahulu di Pulau Kalimantan. Dilanjutkan ke Ratas 13 Juni 2017, saya meminta pelaksanaan kebijakan satu peta dilanjutkan untuk wilayah Sumatra, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara,” ujar Presiden.
Sedangkan pada tahun 2018 ini, lanjut Presiden, pemerintah akan fokus untuk menggarap kebijakan satu peta untuk Papua, Maluku, dan Jawa. Sehingga tahun 2019, lanjut Presiden, kebijakan satu peta ini dapat cepat selesai secara keseluruhan di seluruh tanah air.
Presiden juga mengingatkan agar dalam pelaksanaan betul-betul dilakukan secara cermat, teliti, dan akurat. Segala permasalahan yang muncul di lapangan, Presiden meminta untuk segera dicarikan solusinya, khususnya terkait peta tanah ulayat dan batas desa sehingga peta tunggal yang dihasilkan akan dapat memberikan kepastian, selanjutnya bisa menjadikan pegangan bersama.
Para K/L yang hadir dalam Ratas membahas Perkembangan Kebijakan Satu Peta yang digelar di kantor Presiden, Jakarta, Senin (5/2) sore.
Ratas tentang Kebijakan Satu Peta tersebut dihadiri oleh Menko Perekonomian Darmin Nasution, Menko Kemaritiman Luhut B. Pandjaitan, Mensesneg Pratikno, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil, Menteri Ristekdikti M. Nasir, Menteri Perhubungan Budi K. Sumadi, Menteri ESDM Ignasius Jonan, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, Menteri Pertanian Arman Sulaiman, Kepala BKPM Thomas Lembong, dan Kepala BIG Hasanuddin Z. Abidin.
JAKARTA ,05 Feb 2018 – Pengawasan obat dan suplemen makanan dilakukan secara komprehensif melalui pengawasan produk sebelum beredar (pre-market) dan pengawasan produk setelah beredar (post-market). Pengawasan pre-market merupakan evaluasi terhadap mutu, keamanan, dan khasiat produk sebelum memperoleh nomor izin edar (NIE). Untuk produk yang mengandung bahan tertentu berasal dari babi maupun bersinggungan dengan bahan bersumber babi dalam proses pembuatannya, wajib mencantumkan informasi tersebut pada label.
Pengawasan post-market bertujuan untuk melihat konsistensi mutu, keamanan, dan khasiat produk, yang dilakukan dengan sampling produk yang beredar, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi, pemantauan farmakovigilan, pengawasan label, dan iklan. Produk yang disampling kemudian diuji laboratorium untuk mengetahui apakah obat dan suplemen makanan tersebut masih memenuhi persyaratan yang telah disetujui pada saat evaluasi pre-market. Hasil uji ini menjadi dasar untuk melakukan tindak lanjut terhadap produk yang disampling.
Kepala Badan POM RI, Penny K. Lukito menyampaikan bahwa dalam kasus temuan adanya DNA babi dalam Viostin DS dan Enzyplex , mengindikasikan adanya ketidakkonsistenan informasi data pre-market dengan hasil pengawasan post-market. Hasil pengujian pada pengawasan post-market menunjukkan positif DNA babi, sementara data yang diserahkan dan lulus evaluasi Badan POM RI pada saat pendaftaran produk (pre–market), menggunakan bahan baku bersumber sapi.
Badan POM RI telah memberikan sanksi peringatan keras kepada PT. Pharos Indonesia dan PT Medifarma Laboratories dan memerintahkan untuk menarik kedua produk tersebut dari peredaran serta menghentikan proses produksi. “Untuk itu Badan POM RI telah mencabut nomor izin edar kedua produk tersebut”, ungkap Penny K. Lukito.
Penny K. Lukito menegaskan, dalam rangka melindungi masyarakat Indonesia, maka Badan POM RI tidak ragu memberikan sanksi berat terhadap Industri Farmasi yang terbukti melakukan pelanggaran.
Jika masyarakat masih menemukan produk Viostin dan Enzyplex di peredaran, agar segera melaporkan kepada Badan POM RI.
“Badan POM RI akan melakukan perbaikan sistem dan terus meningkatkan kinerjanya dalam melakukan pengawasan obat dan makanan untuk memastikan produk yang dikonsumsi masyarakat telah memenuhi persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu”, ujar Penny K. Lukito. “Hal ini semakin menunjukkan perlunya penguatan dasar hukum pengawasan Obat dan Makanan melalui pengesahan Undang-Undang Pengawasan Obat dan Makanan”, tutup Kepala Badan POM RI.
Informasi lebih lanjut hubungi:
Contact Center HALO BPOM di nomor telepon 1-500-533, SMS 0-8121-9999-533, email halobpom@pom.go.id, atau Unit Layanan Pengaduan Konsumen (ULPK) Balai Besar/Balai POM di seluruh Indonesia.
BANTEN , 04 Feb 2018 – Menteri Perhubungan (Menhub), Budi Karya Sumadi, mengadakan rapat bersama jajaran Direktorat Jenderal Perhubungan Udara dan Direksi Perum LPPNPI/Airnav Indonesia di JATSC, Bandar Udara (bandara) Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Sabtu , membahas pengembangan bandara di Jakarta, Bali, dan Papua.
“ kami rapat untuk mendengar rencana improvement dari Airnav di tiga lokasi, yaitu Jakarta, Bali, dan Papua. Ini karena tiga lokasi ini adalah lokasi yang penting dengan tingkat kepadatan yang tinggi,” sebut Menhub.
Untuk Jakarta, Menhub mengatakan telah banyak hal yang dilakukan untuk memperbaiki dan meningkatkan pergerakan pesawat. Ia menambahkan bahwa salah satu pengembangan yang akan dilakukan yaitu pembangunan landasan pacu (runway) ketiga Bandara Soekarno-Hatta.
Harapannya, lanjut Menhub, dengan adanya runway 3 ini akan didapatkan pergerakan pesawat (movement) yang semakin tinggi yakni di atas 100 pergerakan pesawat per jam. Panjang runway 3 rencananya, menurut Menhub, adalah 3.000 meter yang nantinya tidak akan independen, karena jarak dengan runway 2 hanyalah sekitar 550 meter.
Soal pembebasan lahannya, Menhub menyebut akan diselesaikan bulan April, sedangkan proses pembangunan sendiri telah dimulai dengan membangun taxi way yang akan menghubungkan runway 3.
“Runway 3 itu memang tidak independen dengan jarak dari runway 2 tidak lebih dari 550 meter. Tapi pada saat itu Bandara Soekarno-Hatta akan jauh lebih baik, lebih safety terutama dari segi maintenance. Kalau sekarang maintenance, sambil dipergunakan sehingga dilakukan dengan window time yang pendek. Kalau nanti ada runway 3 begitu ada suatu maintenance dapat dipakai 2 runway sedangkan yang satu di maintenance. Karena Jakarta adalah ibu kota kita harus pastikan proses maintenance itu harus berlangsung dengan baik,” jelas Menhub.
Progres Pengembangan Bandara Bali dan Papua
Sedangkan untuk di Bali, guna persiapan menghadapi IMF Meeting bulan Oktober, juga akan ada beberapa perbaikan yang dilakukan oleh Angkasa Pura I seperti perbaikan parking stand dan pengaturan pergerakan pesawat yang lebih baik sehingga diharapkan pergerakan pesawat di Bandara Ngurah Rai yang tadinya 28 menjadi 35 pergerakan.
“Diperkirakan untuk acara tersebut sampai akan ada pergerakan pada satu hari di hari H sebanyak 100 movement. Dari perhitungan kita, kita ada ruang sampai 300 movement jadi sebenarnya tidak ada masalah mengenai movement itu sendiri, tapi kita memang akan mendayagunakan untuk pesawat-pesawat yang round atau menginap, tidak mungkin kita memarkir pesawat. Karenanya ada beberapa bandara di sekitar Bali yang kita pergunakan. Ini memang suatu hal yang penting karena hari-hari itu adalah hari yang penting untuk promosi pariwisata khususnya di Bali,” ungkap Menhub.
Dalam kesempatan itu Menhub juga menginstruksikan semua penerbangan dalam negeri yang ke Bali pada acara tersebut, apabila memungkinkan untuk dilakukan dengan pesawat berbadan lebar (wide body).
“Kita lakukan dengan wide body. Sehingga, ruang-ruang itu bisa dipakai. Pada acara tersebut pesawat-pesawat kecil mungkin jangan ke Bali dulu, gunakan pesawat yang lebih besar,” ujar Menhub.
Jika di Jakarta dan Bali ini berkaitan dengan level of service, menurut Menhub, yang ada di Papua adalah level of safety.Menhub berujar bahwa untuk masalah safety di Papua belum maksimal.
Ia juga menyampaikan bahwa di Papua selain meningkatkan alat-alat, membuat rute dan lain sebagainya, maka juga harus menggunakan dua bandara lain yakni Timika dan Dekai sebagai titik berangkat ke bandara-bandara lainnya.
“Karena di Papua, dengan kepadatan yang tinggi, window time cuma dua jam di pagi hari itu padat sekali dan kalau mereka berangkat dari tiga titik berarti probability-nya menjadi lebih banyak. Kualitasnya ditingkatkan peralatannya, jalur lalu lintasnya menjadi tiga kali lipat. Dengan adanya banyak lalu lintas, pesawat itu tidak overload, karena dengan overload itu membuat pesawat-pesawat itu kadang-kadang overshoot, bablas. Ini yang kita bicarakan, kita memang akan improve lagi yang di Papua,” terang Menhub.
Berkaitan dengan alat-alat pengukur cuaca dan lain sebagainya, Menhub sudah menugaskan Ditjen Perhubungan Udara dan Airnav untuk membantu BMKG untuk melengkapi alat-alat itu.
“Papua memiliki Bandara lebih dari lima ratus, tetapi yang besar kira-kira dua ratus, dan banyak yang diketinggian. Selama ini di Papua penerbangan dilakukan dengan visual. Beberapa saat yang lalu kita sudah menambah ADSB, dan itu sudah meng-improve mereka tidak terbang dengan visual lagi,” tutup Menhub.
(IR/EN) MHI
Sumber:(Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenhub)
Abdul Chair Ramadhan selaku Ahli Pihak Dewan Dakwah Islamiyah dalam sidang lanjutan uji materi UU tentang Penodaan Agama, Rabu (31/1) di Ruang Sidang MK.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama) ditinjau secara filosofis tidaklah bertentangan, bahkan selaras dan sejalan dengan cita-cita hukum dalam Konstitusi. Hal ini disampaikan Abdul Chair Ramadhan selaku Ahli Pihak Terkait dalam sidang ke-13 Perkara Nomor 56/PUU-XV/2017 yang digelar pada Rabu di Ruang Sidang Pleno MK.
Sebagai Ahli Dewan Dakwah Islamiyah, Abdul menyebut dalam rangka perlindungan terhadap ajaran agama, maka negara memerlukan tindakan atau penetapan terhadap perbuatan yang menyerang kepentingan agama. Oleh karena itu, lanjutnya, negara menetapkan sejumlah norma yang berlaku dalam hukum pidana (ius punale) dan hak untuk memidana (ius puniendi) sebagai bentuk penanganan suatu tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat.
Selain itu, Pakar Hukum Pidana tersebut menjelaskan bahwa perbuatan penyalahgunaan agama sebagaimana dilakukan oleh Ahmadiyah, secara sadar kepastian (dolus directus), dapat menimbulkan perbuatan penodaan terhadap agama. Ketika terjadi penodaan agama, lanjut Abdul, maka derajat penanganannya yang dilakukan adalah berbeda dengan penyalahgunaan agama. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu peringatan keras dalam bentuk SKB terhadap penyalahgunaan agama sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 UU Penodaan Agama.
\\”Perlu dimengerti istilah penyalahgunaan agama ini adalah dimaksudkan untuk kodifikasi keberlakuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 untuk kemudian dimasukkan dalam KUHP menjadi Pasal 156A tepatnya pada huruf a. Dengan demikian, penyisipan Pasal 4 Undang-Undang PNPS ini adalah dalam rangka mempertemukan antara pasal sebelumnya, yaitu Pasal 156 dan Pasal 157. Dan sesuai dengan judulnya ada frasa pencegahan, penyalahgunaan, dan/atau penodaan agama. Dengan demikian, penyalahgunaan dapat menimbulkan penodaan, tetapi penodaan dapat berdiri sendiri,\\” tegasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
UU Penodaan Agama, Bentuk Perlindungan Negara Terhadap Agama
Maneger Nasution selaku Ahli yang dihadirkan MUI dalam persidangan perkara pengujian UU Penodaan Agama, Rabu (23/1) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Setiap orang berhak beragama, tetapi setiap agama berhak memeroleh perlindungan dari negara, dari segala macam bentuk penyimpangan dan penodaan. Hal ini disampaikan oleh Maneger Nasution selaku Ahli yang dihadirkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam sidang lanjutan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama). Sidang kedua belas Perkara Nomor 56/PUU-XV/2017 ini digelar Rabu .
Sebagai Ahli Pihak Terkait, Maneger menjelaskan negara tetap harus hadir guna mencegah adanya penodaan maupun penyimpangan terhadap sebuah agama. Menurutnya, UU Penodaan Agama merupakan bentuk kehadiran negara untuk mengatur relasi antarumat beragama di Indonesia. Ia juga memaparkan terkait hak asasi manusia dalam beragama tetap harus diatur dalam sebuah undang-undang.
“Jika negara tidak hadir ketika terjadi relasi yang tidak baik, maka tentu akan lebih bagus ada undang-undang daripada tidak ada undang-undang. Menurut hemat saya, rezim HAM di Indonesia, itu rezim HAM yang memang tidak mutlak, tetapi ia bisa dibatasi dengan undang-undang,” jelas Mantan Anggota Komnas HAM periode 2012 – 2017 tersebut.
Maneger juga menyebut jika negara membiarkan adanya penodaan dan penyimpangan terhadap sebuah agama, hal ini akan berdampak pada moralitas masyarakat. Oleh karena itu, lanjutnya, negara wajib hadir melalui keberadaan UU Penodaan Agama.
“Negara harus hadir. Karena kalau itu dibiarkan, justru merusak moralitas publik. Kalau negara tidak hadir, negara bisa dituntut sebagai negara yang tidak hadir atau melakukan apa yang disebut dengan by omission, membiarkan terjadi kerusakan moralitas publik,” ujar Maneger dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Hak Konstitusional Terlanggar Oleh SKB 3 Menteri
Sebelumnya, para Pemohon yang merupakan penganut Ahmadiyah mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU Penodaan Agama. Menurut Para Pemohon, Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat (SKB 3 Menteri) yang disusun berdasarkan ketiga pasal tersebut merugikan Para Pemohon. SKB 3 Menteri tersebut menetapkan bahwa Ahmadiyah merupakan aliran sesat.
Para Pemohon terdampak langsung, terbelenggu, dan terkekang bahkan ditindas hak untuk beragama maupun hak untuk melaksanakan ibadah karena SKB 3 Menteri. Banyak efek domino dirasakan dalam kehidupan penganut Ahmadiyah, di antaranya Para Pemohon tidak dapat beribadah di masjid yang dibangunnya karena pembakaran dan penyegelan, pencatatan pernikahan di KUA, hingga pengusiran Para Pemohon dari lokasi tempat tinggal.
Untuk itu, Para Pemohon meminta Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU Penodaan Agama dinyatakan secara konstitusionalitas bersyarat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, khususnya Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai, dipersangkakan terhadap warga negara di komunitas Ahmadiyah yang hanya beribadah di tempat ibadahnya secara internal dan tidak di muka umum.
Berlakunya UU Penodaan Agama Akibatkan Penelantaran Agama Minoritas
Akibat berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama) telah terjadi eksklusi, diskriminasi, dan penelantaran atas agama minoritas. Hal ini disampaikan oleh Agus Sudibyo selaku Ahli Pihak Terkait dalam sidang uji materiil UU Penodaan Agama yang diajukan oleh Komunitas Ahmadiyah. Sidang kesebelas Perkara Nomor 56/PUU-XV/2017 tersebut digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (17/1) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam keterangannya sebagai Ahli yang dihadirkan Komnas Perempuan, Agus menyebut meski UU Penodaan Agama tidak dimaksudkan untuk mengeksklusi atau menelantarkan kelompok minoritas, namun fakta menunjukkan terdapat dampak yang timbul dari pemberlakuan UU tersebut. “Peraturan tersebut berdampak pada peniadaan atau pembatasan hak konstitusional warga minoritas yang terkait dengan hak untuk beragama dan menjalankan kepercayaan masing-masing, hak untuk terbebas dari kekerasan dan ketakutan, hak untuk mempertahankan hidup dan kehidupan, hak atas perlindungan pribadi dan keluarga, hak untuk terbebas dari perlakuan diskriminatif, dan lain-lain,” terang Ketua Presidium Jaringan Wartawan Anti-Hoax (JAWAH) tersebut.
Menurut Agus, peninjauan kembali UU Penodaan Agama melalui judicial review seperti yang dilakukan para Pemohon, merupakan langkah penting untuk merehabilitasi hak dan rasa keadilan warga minoritas yang telah terdampak oleh pemberlakuan undang-undang tersebut.
Peninjauan kembali, lanjutnya, juga mendesak untuk menginklusi kembali posisi kelompok minoritas sebagai bagian dari warga negara Indonesia tanpa hierarki dan diskriminasi. Tidak Sejalan UUD 1945 Sementara itu, Ahli Pihak Terkait lainnya, yakni Muktiono menyebut UU Penodaan Agama tidak sejalan dengan maksud dan arti dari Ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang membolehkan agama sebagai dasar atau alasan untuk membentuk hukum sebagai instrumen pembatasan suatu hak. Menurut Muktiono, ajaran agama yang dijadikan dasar atau sumber acuan bagi pengaturan pembatasan harusnya bersifat inklusif atau terbuka.
Hal ini agar aturan tersebut dapat secara adil mengakomodasi nilai atau ajaran agama dari komunitas agama yang beragam dan tidak bias relasi kuasa atau power relations. “Pada kenyataannya, UU P3A (UU Penodaan Agama) dengan kategorisasi agama dan politik hukum pengakuan resmi negara, dengan sendirinya mempunyai karakter yang eksklusif yang berakibat pada terpinggirkannya prinsip kesetaraan di hadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur di dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Konstitusi (UUD 1945),” paparnya.
Kelompok Minoritas Rentan Diskriminasi
Kelompok minoritas seperti Ahmadiyah rentan mengalami diskriminasi dalam pelayanan publik. Hal ini disampaikan oleh Anggota Ombudsman Ahmad Suaedy selaku Ahli Pihak Terkait dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama) yang diajukan oleh Komunitas Ahmadiyah. Sidang kesepuluh Perkara Nomor 56/PUU-XV/2017 tersebut digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (10/1) di Ruang Sidang MK.
Suaedy yang dihadirkan oleh Komnas Perempuan menerangkan diskriminasi tersebut terjadi akibat multitafsir terhadap suatu undang-undang. Ketiadaan pembatasan pengertian yang jelas dan spesifik di dalam undang-undang tersebut diungkap Suaedy sebagai pemicu multitafsir tersebut. Menurut Suaedy, seharusnya kesetaraan dalam pelayanan publik harus didasarkan pada amanah Undang-Undang Dasar Tahun 1945. “Pelayanan publik dalam suatu negara merdeka, berdaulat, dan demokrasi seperti Indonesia tidak bisa dikecualikan hanya karena minoritas yang berbeda dengan mayoritas,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Kemudian Suaedy menegaskan perlunya Pemerintah melindungi pihak yang lemah dan membatasi pihak yang menyerang agar tidak terjadi kekerasan. Apalagi, lanjutnya, Pemerintah harus memberikan pelayanan kepada semua rakyat Indonesia tanpa pandang bulu, sebagai mandat konstitusi. “Dalam banyak kasus, aksi kekerasan, penyegelan masjid Ahmadiyah misalnya, dilakukan bukan hanya oleh sekelompok orang yang tidak setuju dan beda pendapat dengan Ahmadiyah, melainkan oleh aparat pemerintah, seperti Satpol PP. Tentu mereka atas Pemerintah pemimpin di atasnya. Maka, Pemerintah perlu ada UU yang tidak bisa ditafsir meluas untuk melakukan perlindungan terhadap Ahmadiyah dan kelompok lemah yang lain,” paparnya.
Penodaan Agama Merupakan Persoalan Serius
Adanya Undang-Undang PNPS Nomor 1 Tahun 1965 tentang pencegahan, penyalahgunaan, dan/atau penodaan agama hendaklah dipahami bahwa tindakan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama merupakan persoalan yang serius. Demikian disampaikan oleh M. Ridwan Lubis selaku Ahli Pemerintah dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama) yang diajukan oleh Komunitas Ahmadiyah. Sidang kesembilan Perkara Nomor 56/PUU-XV/2017 digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (19/12) di Ruang Sidang MK.
Ridwan menjelaskan UU Penodaan Agama tetap diperlukan guna memelihara kesatuan kebijakan nasional dalam menangani adanya penyimpangan terhadap makna luhur dari kebebasan beragama. Sebagai upaya memelihara kerukunan nasional dan ketinggian martabat umat manusia, maka keberadaan UU Penodaan Agama perlu lebih dipertegas lagi dengan merumuskan ketentuan yang lebih konkret tentang makna penyalahgunaan dan/atau penodaan agama.
“Sehingga aparatur Pemerintah dan masyarakat memiliki kriteria yang terukur agar tidak menimbulkan sikap yang multitafsir,” jelasnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Menurut Ridwan, adanya UU Penodaan Agama tidak mempunyai korelasi dengan pembatasan kebebasan beragama. Hal ini karena kebebasan beragama termasuk memilih dan menghayati suatu keyakinan agama adalah hak setiap orang yang dijamin oleh undang-undang. Oleh karena itu, lanjutnya, ketika seorang berbicara terhadap dirinya berkenaan dengan penghayatan keyakinan agamanya, maka hal tersebut telah hak asasi yang dijamin oleh perundang-undangan.
“Namun, ketika kebebasan personal itu dibawa dirinya, maka pada saat itu telah terjadinya pembatasan agar tetap terpilihara kerukunan dan ketertiban masyarakat agar tidak bersinggungan dengan kebebasan yang juga dimiliki oleh orang lain. Dengan demikian, Undang-Undang PNPS Nomor 1 Tahun 1965 semata-mata hanya berbicara tentang tata laku ketika seorang berbicara dengan orang lain di luar dirinya,” tegas Guru Besar Ilmu Perbandingan Agama UIN Syarif Hidayatullah. Para Pemohon terdampak langsung, terbelenggu, dan terkekang bahkan ditindas hak untuk beragama maupun hak untuk melaksanakan ibadah karena SKB 3 Menteri.
Banyak efek domino dirasakan dalam kehidupan penganut Ahmadiyah, di antaranya Para Pemohon tidak dapat beribadah di masjid yang dibangunnya karena pembakaran dan penyegelan, pencatatan pernikahan di KUA, hingga pengusiran Para Pemohon dari lokasi tempat tinggal. Untuk itu, Para Pemohon meminta Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU Penodaan Agama dinyatakan secara konstitusionalitas bersyarat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, khususnya Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai, dipersangkakan terhadap warga negara di komunitas Ahmadiyah yang hanya beribadah di tempat ibadahnya secara internal dan tidak di muka umum.
JAKARTA , 02 Pebruari 2018 13:19:51- Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo meminta semua pihak bersinergi mengawal dan memastikan program padat karya tunai di desa, berjalan sukses. Program padat karya, harus dipastikan tepat sasaran. Peran kepala daerah, baik itu bupati dan walikota, sangat penting mengawal program padat karya.
“Ini bagaimana mendorong bupati dan walikota mengawal pelaksanaan program padat karya,” kata Tjahjo, di acara talk show dalam rapat koordinasi persiapan pelaksanaan program padat karya tunai desa, di Jakarta.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kata Tjahjo tentu punya peranan. Salah satu peran yang terus dioptimalkan adalah penguatan kapasitas aparatur pemerintah desa. Penguatan kapasitas aparatur desa sangat penting, karena anggaran untuk padat karya, langsung diterima desa. Program padat karya tunai desa sendiri merupakan bagian dari visi membangun Indonesia dari pinggiran seperti telah dicanangkan Presiden Jokowi saat mulai menjabat.
“Coba kalau bergerak di desa, pertumbuhan desa meningkat, otomatis pertumbuhan di daerah juga baik. Pertumbuhan nasional juga bisa meningkat dengan baik,” katanya.
Diujung paparannya, Tjahjo mengucapkan selamat bekerja kepada seluruh aparatur desa. Program padat karya tunai desa, harus dilaksanakan dengan baik. Dikawal. Di kontrol. Sehingga tepat sasaran. Karena ini program strategis untuk memajukan desa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pedesaan.
” Selamat bekerja untuk percepatan pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat, ” ujar Tjahjo.
Presiden Jokowi memberikan Keterangan pada para Wartawan Usai Hadiri Dies Natalis ke-68 Universitas Indonesia, di Depok, Jawa Barat, Jumat (2/2) pagi.
DEPOK , 02 Feb 2018 – Presiden Joko Widodo memiliki kriteria yang harus dipenuhi calon Gubernur Bank Indonesia (BI) pengganti Agus Martowardjojo, yang akan berakhir masa jabatannya pada bulan Mei mendatang.
“Ya tentu saja yang bisa memberikan kepercayaan pasar mengenai hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi kita, moneter, inflasi. Saya kira kepercayaan publik dan pasar itu sangat diperlukan untuk Gubernur BI,” kata Presiden Jokowi usai menghadiri peringatan Dies Natalis ke-68 Universitas Indonesia, di Depok, Jawa Barat, Jumat siang.
Namun Presiden mengaku sejauh ini belum menerima usulan mengenai nama-nama calon Gubernur BI yang akan diajukannya sebagai pengganti Agus Martowardjojo untuk dipilih oleh DPR RI.
Sesuai ketentuan, calon Gubernur BI harus diajukan 3 (tiga) bulan sebelum berakhir masa jabatan Gubernur yang sedang menjabat. Dengan demikian, pada bulan Februari ini pemerintah harus mengajukan nama-nama calon Gubernur BI untuk dilakukan uji kelayakan oleh DPR RI.