.jpeg)
JAKARTA, MHI – Empat advokat mengajukan permohonan uji materiil Pasal 1 ayat (1), Pasal 167 ayat (3), Pasal 347 ayat (1), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi. Keempat advokat dimaksud yaitu, Bahrul Ilmi Yakup (Pemohon I), Iwan Kurniawan (Pemohon II), Yuseva (Pemohon III), dan Rio Adhitya (Pemohon IV). Kepaniteraan MK meregistrasi permohohan dengan Nomor 126/PUU-XXIII/2025.(02/08/2025)
Sidang pemeriksaan pendahuluan perkara tersebut dilaksanakan di MK pada Jumat (01/08/2025). Dalam persidangan, Bahrul Ilmi Yakup menyebutkan hak dan/atau kepentingan konstitusional para Pemohon telah dirugikan oleh permohonan Pengujian Undang-Undang (PUU) yang diajukan Pemohon Perkara Nomor 135/PUU-XXI/2024 yang telah diputuskan oleh Mahkamah.
Menurut para Pemohon, secara substansial perkara tersebut telah mengajukan permohonan pengujian Pasal 22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan tentang definisi atau pemaknaan pemilu dengan menyiasati melalui pengujian Pasal 1 angka 1 UU Pemilihan Umum.
Menurut para Pemohon, permohonan Perkara Nomor 135/PUU-XXI/2024 secara sengaja memanfaatkan kealpaan pembentuk undang-undang yang sering kali menduplikasi UUD NKRI Tahun 1945 menjadi norma undang-undang. Perkara Nomor 135/PUU-XXI/2024 ini membahayakan dan menciptakan kekacauan sistem ketatanegaraan Indonesia, sebab melahirkan kevakuman anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) selama periode sejak selesainya pelantikan hasil Pemilu Nasional, yaitu dalam kurun waktu dua tahun sampai dua tahun enam bulan.
Kevakuman anggota DPRD tersebut akan melumpuhkan Pemerintahan Daerah, karena DPRD merupakan penyelenggara pemerintahan daerah bersama-sama Kepala Daerah. Sementara menurut Pasal 22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, anggota DPRD tidak dapat ditunjuk tanpa mandat rakyat, sehingga mengharuskan anggota DPRD dipilih melalui pemilu.
“Menyatakan Pemohon Pengujian Undang-Undang, Perkara Nomor 135/PUU-XXI/2024 tidak memiliki kedudukan hukum dan Permohonannya dinyatakan tidak dapat diterima; dan menyatakan Putusan Perkara Nomor 135/PUU-XXI/2024 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” ucap Bahrul Ilmi Yakup membacakan petitum para Pemohon.
Pembatalan Putusan
Hakim Konstitusi Arsul Sani dalam sesi penasihatan menyoroti pokok permohonan para Pemohon atas Putusan Nomor 135/PUU-XXI/2024. Arsul menanyakan adakah sistem peradilan di negara lain di mana peradilan yang sama membatalkan putusannya sendiri secara langsung pada tingkat yang sama.
“Kalau dia membatalkan putusan yang berbeda tidak masalah karena MK tidak mengenal putusan kasasi dan peninjauan kembali. Ini bagaimana menjelaskannya, barangkali ada peradilan yang begitu sistemnya. Sebab yang ada, MK menggeser pendapatnya sehingga putusannya menjadi berbeda dan bukan putusannya batal,” jelas Hakim Konstitusi Arsul.
Sementara Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur memberikan catatan terkait sistematika permohonan para Pemohon. “Meski singkat, tetapi tetap harus memperhatikan sistematika sebagaimana mestinya. Sebab permohonan ini dibaca tak hanya oleh para hakim panel tetapi juga semua hakim. Sehingga perlu dibuat yang mudah dipahami dengan baik dan jelas,” kata Hakim Konstitusi Ridwan.
Pada akhir persidangan, Wakil Ketua MK Saldi mengatakan para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk menyempurnakan permohonannya. Naskah perbaikan permohonan dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Kamis, 14 Agustus 2025 ke Kepaniteraan MK. Kemudian Mahkamah akan menjadwalkan sidang berikutnya dengan agenda mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan Pemohon.
(Sri/Lulu/Najwa) MHI
