
JAKARTA, MHI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian materiil Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor), pada Jumat (1/8/2025). Permohonan ini diajukan oleh Iwan Ratman yang hadir secara daring dalam persidangan Perkara Nomor 125/PUU-XXIII/2025.
Dalam permohonannya, Iwan menilai ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU Tipikor berpotensi merugikan hak konstitusionalnya, terutama terkait penyitaan harta yang tidak terbukti berasal dari tindak pidana korupsi.
Ia menyoroti ketentuan ini kerap diberlakukan terhadap aset yang tidak berkaitan dengan kejahatan, bahkan milik pihak ketiga yang tidak terlibat, seperti istri dan anak.
“Pemohon menjalankan pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Namun, Pemohon mengalami kerugian konstitusional langsung akibat penyitaan terhadap harta yang tidak terbukti berasal dari tindak pidana korupsi, termasuk milik pihak ketiga yang tidak terlibat dan beritikad baik,” ujar Iwan dalam persidangan.
Lebih lanjut, Iwan menyebut Pasal 18 ayat (1) UU Tipikor membuka ruang bagi penyitaan terhadap harta yang diperoleh sebelum terjadinya tindak pidana, serta tidak memberikan batasan yang jelas antara pidana pokok dan pidana tambahan.
Menurutnya, hal ini berpotensi menimbulkan pemidanaan berlapis atau double punishment, yakni pidana tambahan berupa uang pengganti (asset recovery) dan pidana badan sekaligus, tanpa mekanisme pembatasan yang proporsional.
“Ketentuan ini tidak memberikan batas yang jelas antara pidana pokok dan pidana tambahan. Akibatnya, terjadi penyitaan terhadap harta yang bukan hasil tindak pidana dan bukan pula milik terpidana,” tegasnya.
Pemohon juga menilai penerapan ketentuan tersebut bertentangan dengan prinsip keadilan, asas ultimum remedium, serta asas proporsionalitas dalam pemidanaan.
Ia meminta agar Mahkamah menafsirkan Pasal 18 ayat (1) UU Tipikor secara konstitusional agar tidak digunakan sebagai dasar penyitaan terhadap harta yang tidak terbukti berasal dari kejahatan dan bukan milik pelaku.
“Aset milik pihak ketiga istri atau anak diperoleh jauh sebelum tempus delicti tidak terbukti berasal dari hasil tindak pidana namun tetap disita untuk membayar uang pengganti,” terangnya.
Dalam petitumnya, Iwan meminta MK menyatakan Pasal 18 ayat (1) UU Tipikor bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sepanjang dimaknai dapat diterapkan terhadap harta milik pihak ketiga yang beritikad baik atau harta yang tidak terbukti secara sah berasal dari tindak pidana korupsi.
Iwan juga memohon agar ketentuan tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat (conditionally unconstitutional), kecuali dimaknai bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan terhadap harta yang terbukti secara sah dan meyakinkan berasal dari tindak pidana korupsi.
Selain itu, pidana tambahan berupa uang pengganti tidak boleh dikenakan bersamaan dengan pidana badan kecuali jika terbukti bahwa pelaku menyembunyikan atau menyamarkan hasil kejahatan.
Menanggapi permohonan Pemohon, Ketua MK menjelaskan bahwa permohonan yang pernah diperiksa MK, baik yang dikabulkan maupun yang ditolak, pada umumnya telah memenuhi syarat permohonan yang benar.
"Khusus untuk permohonan yang dinyatakan tidak dapat diterima, hal tersebut biasanya disebabkan oleh persoalan kedudukan hukum Pemohon (legal standing) atau syarat formil lainnya," jelas Suhartoyo.
Terkait Pasal 18 ini, Ketua MK menegaskan bahwa MK sebelumnya telah memutus ketentuan tersebut, sehingga menurutnya tidak terdapat persoalan konstitusional.
“Nanti dicermati lebih lanjut,” kata Suhartoyo.
Di akhir persidangan Majelis Hakim memberikan waktu 14 hari kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonannya. Selanjutnya perbaikan Permohonan diserahkan ke MK paling lambat pada 14 Agustus 2025 pukul 12.00 WIB.
(Utami/Lulu/Rosi) MHI

Tidak ada komentar:
Posting Komentar