
BANDUNG, MHI - Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat Faizal Hafan Farid menolak rencana Pemerintah mengenakan pajak untuk sembilan bahan pokok (sembako) karena akan menambah beban rakyat.
“Secara pribadi menolak rencana soal tarif pajak itu. Kami akan perjuangkan, jika rencana berbahaya ini benar-benar diusulkan ke DPR RI,” kata Faizal dihubungi wartawan via seluler, Rabu (16/06/2021).
Dia menilai kebijakan pemerintah pusat mengenakan Pajak Penambahan Nilai (PPN) bagi bahan pokok sangat merugikan petani dan peternak. Terlebih di tengah kondisi ekonomi pasca pandemic covid-19, kebijakan tersebut dianggap bertentangan dengan semangat pemulihan perekonomian nasional.
"Kebijakan tersebut jika disetujui akan memberatkan petani dan peternak yang saat ini tengah berjuang agar tetap eksis berusaha," terang Faizal.
Dijelaskannya, lebih dari tiga juta keluarga di Jawa Barat bertumpu pada sektor pertanian. Keberadaannya bahkan menjadi penyangga utama kebutuhan tanaman pangan dan perkebunan nasional.
"Profesi petani terhimpit di tengah keterbukaan pasar dunia dan akan semakin terpuruk jika pajak sembako diberlakukan," kata dia.
Pemerintah pusat seharusnya mendorong petani agar tetap eksis dan pulih ekonominya akibat pandemi ini. "Bukan malah memperberat mereka dengan menjadikan bahan pokok untuk dikenakan sebagai objek pajak pertambahan nilai (PPN)," kritiknya.
Sembako yang akan dikenakan PPN itu, lanjut Faizal, diantaranya beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran dan umbi-umbian.
“Belum lama ini kita saksikan pemerintah mengurangi pajak penjualan atas barang mewah dan mengurangi pajak pembelian mobil baru sampai nol persen, lho kenapa sembako yang merupakan kebutuhan sehari-hari seluruh masyarakat malah mau dikenakan pajak?"
.
"Bagi saya kebijakan ini tidak tepat dan salah sasaran, karena mengenakan pajak atas sembako berdampak besar terhadap seluruh lapisan masyarakat, terutama mereka yang ekonominya berada pada level menengah bawah".
"Bagi saya kebijakan ini tidak tepat dan salah sasaran, karena mengenakan pajak atas sembako berdampak besar terhadap seluruh lapisan masyarakat, terutama mereka yang ekonominya berada pada level menengah bawah".
“Bahkan para petani dan peternak juga bisa terancam gulung tikar, sebab kebijakan ini bukan stimulus tetapi mempersulit perekonomian masyarakat,” pungkas Faizal.
Menkeu Sri Mulyani Indrawati : “Jangan Mudah Termakan Hasutan!”
Sementara sebelumnya pada (14/6/21), Menkeu Sri Mulyani Indrawati merilis tulisannya sendiri dilengkapi dengan Video berdurasi 0:59 Detik yang diunggah Kemenkeu dan di Share melalui Media Sosial mengenai blusukan yang dilakukannya di pasar Santa, Kebayoran, Jakarta-Selatan, terkait "Pajak Sembako!"
Diceritakan Sri Mulyani bahwa, "Pagi tadi saya pergi ke pasar Santa di Kebayoran belanja sayur-sayur dan buah Indonesia segar dan bumbu-bumbuan, sambil ngobrol dengan beberapa pedagang di sana."
"Bu Rahayu pedagang buah bercerita akibat pandemi Covid-19 pembeli di pasar menurun, namun mereka bertahan dan tetap bekerja tak menyerah. Bu Runingsih pedagang sayur yang meneruskan usaha ibunya yang sudah 15 tahun, bahkan mulai melayani pembeli secara online, dan mengantar barang belanja menggunakan jasa ojek online. Ibu pedagang bumbu gulai, rendang juga melayani pemesanan dan pengiriman bumbu ke pelanggan. Luar biasa daya juang dan kreativitas mereka,"ungkapnya.
Bu Runingsih juga bercerita ia menerima Bantuan produktif usaha mikro (BPUM) Rp 2,4 juta dan Rp 1,2 juta dari Pemerintah yang bermanfaat untuk menambah modal bahan jualannya. Dia bercerita, anaknya yang masih SMP juara kelas dan mendapat bea siswa dari pemerintah.
Ibu pedagang bumbu menyampaikan kekhawatirannya membaca berita tentang pajak sembako yang dikhawatirkan menaikkan harga jual.
"Saya jelaskan", kata Sri Mulyani "Pemerintah tidak mengenakan pajak sembako yang dijual di pasar tradisional yang menjadi kebutuhan masyarakat umum."
"Pajak tidak asal dipungut untuk penerimaan negara, namun disusun untuk melaksanakan azas keadilan. Misalnya beras produksi petani kita seperti Cianjur, rojolele, pandan wangi, dll yang merupakan bahan pangan pokok dan dijual di pasar tradisional tidak dipungut pajak (PPN). Namun beras premium impor seperti beras basmati, beras shirataki yang harganya bisa 5-10 kali lipat dan dikonsumsi masyarakat kelas atas, seharusnya dipungut pajak," papar Menkeu.
"Demikian juga daging sapi premium seperti daging sapi Kobe, Wagyu yang harganya 10-15 kali lipat harga daging sapi biasa, seharunya perlakukan pajak berbeda dengan bahan kebutuhan pokok rakyat banyak. Itu asas keadilan dalam perpajakan yang lemah dibantu dan dikuatkan dan yang kuat membantu dan berkontribusi," imbuhnya.
Menurut Sri, "Dalam menghadapi dampak Covid yang berat, saat ini Pemerintah justru memberikan banyak insentif pajak untuk memulihkan ekonomi. Pajak UMKM, pajak karyawan (PPH 21) dibebaskan dan ditanggung pemerintahan. Pemerintah membantu rakyat melalui bantuan sosial, bantuan modal UMKM seperti yang telah diterima pedagang sayur di Pasar Santa tersebut, diskon listrik rumah tangga kelas bawah, internet gratis bagi siswa, mahasiswa dan guru,"tuturnya
Lebih lanjut Menkeu mengatakan, bahwa."Pemerintah juga memberikan vaksin gratis dan biaya rawat gratis bagi yang terkena Covid. Inilah fokus pemerintah saat ini, yaitu melindungi rakyat, ekonomi dan dunia usaha agar bisa tidak hanya bertahan namun pulih kembali secara kuat. Semangat para pedagang untuk bangkit sungguh luar biasa," katanya.
"Ayo kita jaga dan pulihkan bersama ekonomi kita. Jangan lupa untuk terus patuhi protokol kesehatan saat melakukan berbagai aktivitas!, Himbau Menkeu, seraya menegaskan, “Jangan Mudah Termakan Hasutan”, tegas Sri Mulyani menutup cerita blusukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar