JAKARTA,
MHI - Jika organisasi pers menyusun aturan
menurut versi masing‑masing, justru akan terjadi kekacauan dan ketidakpastian
hukum dalam penyelenggaraan kemerdekaan pers dan menghambat terciptanya
peningkatan kehidupan pers. Untuk itu, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999
tentang Pers (UU Pers) mengamanatkan Dewan Pers sebagai fasilitator organisasi
pers dalam menyusun aturannya. Demikian disampaikan oleh Frans Lakaseru
selaku kuasa hukum Dewan Pers (Pihak Terkait) dalam pengujian, secara daring
pada Selasa (09/11/2021).
“Dalam
praktiknya, penyusunan terhadap aturan di bidang pers yang dibutuhkan dan
dilakukan oleh organisasi pers dilakukan sebagaimana tersebut dalam Pasal 15
ayat (2) huruf f Undang‑Undang Pers 40 Tahun 1999, yakni Dewan Pers
memfasilitasi organisasi pers dalam penyusunan aturannya hingga diperoleh hasil
akhir atas penyusunan aturan di bidang pers tersebut,” papar Frans menanggapi
Perkara Nomor 38/PUU-XIX/2021 tersebut.
Sebaliknya,
lanjut Frans, jika ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf f UU Pers yang diujikan
para Pemohon tidak diterapkan, maka akan timbul kekacauan dalam penyelenggaraan
pers dan hilangnya kepastian hukum, baik organisasi pers sendiri maupun
masyarakat atau publik secara luas. Nantinya aturan yang dipakai bermacam-macam
versi karena masing‑masing organisasi pers akan membuat dan memberlakukan
aturan sesuai selera serta tidak ada standardisasi yang sama.
“Padahal
peraturan‑peraturan tersebut diperlukan oleh Pihak Terkait sebagai rujukan
dalam melaksanakan fungsi lainnya, sebagaimana diamanatkan Pasal 15 ayat (2)
huruf d Undang‑Undang Pers 40 Tahun 1999, yakni memberikan pertimbangan dan
mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus‑kasus yang
berhubungan dengan pemberitaan pers melalui mekanisme hak jawab dan hak
koreksi. Perihal hak jawab dan hak koreksi ini ditegaskan dalam Penjelasan Umum
Alinea ke 4 dan 5 Undang‑Undang Pers 40 Tahun 1999. Hak jawab dan hak koreksi
merupakan bentuk kontrol masyarakat yang dijamin, salah satunya oleh Dewan
Pers,” terang Frans.
Belum
Tunduk Hukum
Frans
mengungkapkan bahwa Dewan Pers menyadari masih terdapat organisasi-organisasi
pers maupun perorangan yang merupakan pelaku dalam penyelenggaraan pers di
Indonesia belum menundukkan diri pada seluruh peraturan Dewan Pers. Padahal
seluruh peraturan tersebut diterima dan diakui oleh organisasi‑organisasi pers
sebagai konsensus bersama organisasi pers. Oleh karena itu, peraturan tersebut
menjadi hukum yang mengikat dan berlaku bagi organisasi pers dalam
penyelenggaraan pers di Indonesia.
Terhadap
kondisi ini, Pihak Terkait sangat menyesalkan dan menyatakan bahwa tidak
tunduknya organisasi‑organisasi pers maupun perseorangan terhadap peraturan
Dewan Pers, merupakan wujud lemahnya komitmen yang bersangkutan, ketidaktaatan,
dan ketidakpatuhan pada norma‑norma dalam UU Pers dan peraturan lainnya sebagai
implementasi norma UU Pers.
Frans juga
mengungkapkan bahwa para Pemohon merupakan wartawan yang belum menundukkan diri
pada Peraturan Dewan Pers tentang Standar Kompetensi Wartawan. Hal ini
dibuktikan dari tidak ditemukannya nama para Pemohon dalam laman Dewan
Pers.
“Nama
Pemohon pertama, Heintje Grontson Madagie. Pemohon kedua, Hans M. Kawengian.
Dan Pemohon ketiga, Soegiharto Santoso manakala dilakukan pencarian dalam laman
Dewan Pers. Laman ini berisi data dan informasi wartawan yang telah memenuhi
kompetensi wartawan sesuai jenjangnya yang dibuktikan dengan sertifikat
kompetensi,” tukas Frans.
Padahal,
lanjut Frans, wartawan harus memiliki standar kompetensi yang memadai dan
disepakati oleh masyarakat pers dalam melaksanakan tugasnya. Standar kompetensi
ini menjadi alat ukur profesionalitas wartawan. Standar kompetensi wartawan
diperlukan untuk melindungi kepentingan Publik dan hak pribadi masyarakat.
Standar ini juga untuk menjaga Kehormatan pekerja wartawan dan bukan untuk
membatasi hak asasi warga negara menjadi wartawan. Kompetensi wartawan
berkaitan dengan Kemampuan intelektual dan pengetahuan umum.
Meningkatkan
Kualitas Pers
Selain itu,
dalam keterangannya, Frans juga menyebut Dewan Pers diberi amanat oleh UU Pers
untuk melaksanakan fungsi serta meningkatkan kualitas profesi wartawan. Fungsi
ini menjadi satu-kesatuan yang tidak terpisahkan dari fungsi memfasilitasi
organisasi‑organisasi pers dalam menyusun peraturan‑peraturan di bidang pers
sebagaimana disebut dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f UU Pers.
Frans
mengatakan, Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan DP/X/2018 tentang Standar
Kompetensi Wartawan terbit dan ditetapkan sebagai wujud nyata dari pelaksanaan
fungsi Pasal 15 ayat (2) huruf f UU Pers. Menurutnya, Dewan Pers melaksanakan
fungsi memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun
peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi
kewartawanan.
Dewan Pers Akui Organisasi Wartawan Penyusun Peraturan Pers
Ketua Dewan Pers Mohamad Nuh hadir memberikan keterangan selaku pihak terkait dalam perkara Nomor 38/PUU-XIX/2021 tentang Pengujian UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers terhadap UUD 1945. Dalam keterangan yang dibacakan kuasa hukumnya, Dewan Pers mengatakan, para pemohon mendalilkan Dewan Pers memonopoli peraturan di bidang pers adalah tidak berdasar sama sekali. “Bahwa tafsir yang pada pokoknya Dewan Pers memonopoli segala peraturan pers sebagai kesesatan pikir dari para pemohon,” tegasnya.
Pada kesempatan yang sama, Dewan Pers menyatakan, secara khusus ditetapkannya Peraturan Dewan Pers tentang Standar Kompetensi Wartawan yang didalikan pemohon melanggar UU Pers dan Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak berdasar. Karena menurutnya, pihak terkait diberi kewenangan oleh UU Pers untuk meningkatkan kualitas pers nasional.
“Secara demikian peraturan Dewan Pers tentang Standar Kompetensi Wartawan diterbitkan sebagai wujud nyata dari fungsi Dewan Pers pada pasal 15 Ayat (2) huruf f,” ungkapnya. Ditambahkannya, apabila mengacu pada putusan pengadilan tinggi DKI sudah tidak relevan, karena mengenai Uji Kompetensi di BNSP sudah ada putusannya bahwa Pelaksanaan UKW dengan Standar Kompetensi Wartawan dinyatakan sah oleh putusan di PT DKI.
Menanggapi keterangan tertulis pihak terkait Dewan Pers dalam sidang kali ini, Hans Kawengian selaku Pemohon mengaku puas dan senang karena Dewan Pers sendiri sudah mengakui di depan Mahkamah Konstitusi dan masyarakat Indonesia melalui tayangan live chanel youtube MK RI, bahwa kewenangan membuat peraturan pers itu ada pada organisasi pers.
Kawengian yang menjadi saksi sekaligus pelaku sejarah penyusun peraturan pers tentang standar organsiasi wartawan menegaskan, Peraturan Dewan Pers tentang Standar Organisasi Wartawan yang selama ini diterapkan adalah hanya berdasarkan keputusan sepihak oleh Dewan Pers. Peraturan Dewan Pers yang ada selama ini, menurutnya, tidak sah karena itu domainnya organisasi pers.
“Sebab hasil keputusan bersama organisasi-organisasi pers pada tahun 2006 yang disebut Dewan Pers sebagai konsensus, tidak ada satupun dari kami yang memberi kewenangan kepada Dewan Pers untuk merubah keputusan tersebut menjadi Peraturan Dewan Pers,” ungkap Hans Kawengian, selaku salah satu peserta yang ikut menandatangani kesepakatan membuat peraturan pers tentang Standar Organisasi Wartawan dan kesepakatan memberi Penguatan Dewan Pers.
Hans Kawengian yang kini menjabat Ketua Umum Komite Wartawan Pelacak Profesional Indonesia (KOWAPPI) menegaskan, seharusnya kesepakatan organisasi-organisasi pers tersebut dijadikan peraturan di masing-masing organisasi pers tentang Standar Oganisasi Wartawan. “Celakanya, peraturan yang kita buat itu dijadikan peraturan Dewan Pers secara sepihak pada tahun 2008, lalu dia (DP) secara sepihak pula menyatakan puluhan organisasi-organisasi pers itu bukan konstituen Dewan Pers karena tidak memenuhi standar organisasi wartawan tesebut,” Ujarnya.
“Sehingga sejak 2008 sampai sekarang kami organisasi pers berbadan hukum yang diakui pemerintah tidak lagi dilibatkan, atau hak konstitusi memilih dan dipilih sebagai anggota Dewan Pers telah dirampas dan dihilangkan secara sepihak oleh Dewan Pers,” tutur Hans, selaku salah satu pemohon dalam uji materi UU Pers di MK ini.
Pembentukan Dewan Pers Independen
Sebelumnya,
para Pemohon menguji fungsi Dewan Pers dalam menyusun berbagai peraturan
di bidang pers sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 15
ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers).
Pemohon mendalilkan adanya ketidakjelasan tafsir Pasal 15 ayat (5) UU Pers
telah merugikan hak konstitusional para Pemohon. Pemohon yang memiliki
perusahaan dan organisasi pers berbadan hukum merasa terhalangi untuk membentuk
Dewan Pers independen serta untuk memilih dan dipilih sebagai anggota
Dewan Pers secara demokratis. Tak hanya itu, ketentuan tersebut dinilai Pemohon
menyebabkan hak untuk menetapkan dan mengesahkan anggota Dewan Pers yang
dipilih secara independen juga terhalangi.
Para Pemohon
menyelenggarakan Kongres Pers Indonesia pada 2019 silam yang menghasilkan terpilihnya
Anggota Dewan Pers Indonesia. Akan tetapi, karena adanya Pasal 15 ayat (5) UU
Pers, hasil Kongres Pers Indonesia tersebut tidak mendapatkan respon dan
tanggapan dari Presiden Indonesia. Selain itu, keberadaan Pasal 15 ayat (2)
huruf f UU Pers harus ditinjau kembali. Hal ini karena organisasi-organisasi
pers kehilangan haknya dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers.
Sebab, lanjutnya, dalam pelaksanaannya, pasal a quo dimaknai
oleh Dewan Pers sebagai kewenangannya berdasarkan fungsi Dewan Pers untuk
menyusun dan menetapkan peraturan di bidang pers.
Sehingga keberlakuan Pasal 15
ayat (2) huruf f UU 40/1999 bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2),
Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2)
UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang
pers oleh masing-masing organisasi pers” karena membatasi hak
organisasi-organisasi pers mengembangkan kemerdekaan pers dan menegakan
nilai-nilai dasar Demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak
asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan, melakukan pengawasan, kritik,
koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum,
memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Oleh karena
itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 15
ayat (2) huruf f UU Pers bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dalam menyusun
peraturan-peraturan di bidang pers oleh masing-masing organisasi pers”. Pemohon
juga meminta MK untuk menyatakan Pasal 15 ayat (5) Pers bertentangan dengan UUD
1945 sepanjang tidak dimaknai “Keputusan Presiden bersifat administratif sesuai
usulan atau permohonan dari organisasi-organisasi pers, perusahaan-perusahaan
pers dan wartawan yang terpilih melalui mekanisme kongres pers yang
demokratis”.
(Utami/Lulu/Irfan) MHI
Sumber : Humas MK