MAJALENGKA, MHI - Dua petani tebu asal Majalengka tewas mengenaskan. Korban diserang dan dibacok sekelompok orang bersenjata tajam di lahan tebu milik PG Jatitujuh, Indramayu, Jawa Barat, sementara kejadian tersebut berlokasi di perbatasan Majalengka-Indramayu atau tepatnya di Desa Kerticala, Kecamatan Tukdana, Indramayu, Senin (04/10/2021).
Informasi yang dihimpun, dua warga Majalengka yang tewas bernama Suhenda dan Yayan. Jasad dua korban itu dibawa ke Puskesmas Jatitujuh Majalengka.
Yaya Sumarya, saksi mata menjelaskan bahwa, awalnya kedua korban dan para pekerja tengah membajak lahan tebu. Tiba-tiba pihaknya diserang oleh sekelompok orang dari salah satu forum masyarakat.
"Di lokasi, kami pukul 9.30 WIB melakukan pembajakan lahan. Pada pukul 10.30 itu kemudian tiba-tiba ada penyerangan. Akibatnya ada korban dua orang," kata Yaya di Puskemas Jatitujuh Majalengka.
"Saat itu seperti perang. Kami lagi garap lahan, kemudian diserang. Semua pekerja berlarian dan korban ini jatuh ke parit langsung di bacok oleh mereka," ujar dia menambahkan.
Melihat korban yang terluka parah, Yaya dan pekerja lainnya berusaha membantu korban. Namun nyawa Suhenda dan Yayan tak tertolong saat tiba di Puskesmas Jatitujuh.
"Luka bacok di kepala, leher dan tangan," ucap Yaya.
Tentang kronologi kejadian Yaya mengungkapkan bahwa peristiwa tersebut berkaitan dengan sengketa lahan tebu HGU milik PG Jatitujuh yang masih dalam status persengketaan.
"Kronologinya karena kemitraan menggarap lahan tebu HGU milik PG Jatitujuh yang masih bersengketa. Kemudian sekelompok forum masyarakat menyerang. Terjadilah bentrok antara petani kemitraan dengan kelompok itu,"pungkas Yaya Sumarya.
Berdasarkan informasi yang didapat Polisi dan TNI lakukan penangkapan dan penyisiran pelaku kerusuhan hingga ke lahan tebu.Dikabarkan Sejumlah orang sudah diamankan pasca bentrok di lahan tebu Kecamatan Tukdana Indramayu.
BANGKA BARAT, MHI - Melonjak harga timah di pasaran bukan saja memberi dampak yang baik atau kesejahteraan bagi masyarakat penambangan di Bangka Belitung itu sendiri, namun sebaliknya tidak sedikit pula yang tidak mensyukuri nikmat yang ada, sehingga menimbulkan sifat rakus, serakah dan tamak pada diri masyarakat penambang, (03/10/2021).
Bukannya untuk saling berbagi sesama, atau membantu orang atau masyarakat lainnya, sehingga terjalin silahturahmi yang erat antar sesama, dan saling menjaga suasana konduksif dan aman. Namun sayangnya justru sifat serakah dan tamak yang ditunjukkan untuk saling menguasai pasir timah yang dihasilkan dari aktifitas penambangan rakyat jenis ponton Ti apung/rajuk dan selam.
Bahkan, tidak malunya saling klaim mengatasnamakan warga/masyarakat setempat atas hak untuk menambang pasir timah di daerah tersebut, padahal aktifitas ponton Ti Rajuk dan Selam yang menambang pasir timah diwilayah tersebut ilegal atau tanpa mengantongi payung hukum (legalitas) yang melindungi mereka melaksanakan aktifitas penambangan.
Meskipun tersurat pemerintah daerah dan Aparat Penegak Hukum (APH) di Bangka Belitung terkesan tutup mata dan telinga, hal itu mereka lakukan tak lainnya untuk rakyat Bangka Belitung, agar dapat memenuhi kebutuhan sandang dan pangan di saat pandemi covid 19.
Namun sayangnya kesempatan ini rusak akibat ulah segelintir orang yang serakah dan tamak disaat baru beberapa hari beraktifitas penambangan timah rakyat jenis ponton Ti Rajuk dan Selam di laut Bakik dan Cupat dalam kawasan perairan Teluk Kelabat Dalam laut Belinyu dan sekitarnya.
Justru terdengar kabar terjadi keributan antar warga yang sama-sama menikmati penjarah ilegal terhadap kekayaan sumber daya alam dengan mengatasnamakan masyarakat di Kabupaten Bangka Barat.
Bentrok Penambang Ilegal Libatkan Wakil Bupati Bangka Barat
Hal tersebut terungkap, saat Jejaring Media Pers Babel yang tergabung dalam Kantor Berita Online Bangka Belitung (KBO Babel) mendapatkan informasi dan data sertai bukti video yang dihimpun, bahwa telah terjadi keributan sesama masyarakat penambang atau warga desa Bakit dengan warga Mentok di Kabupaten Bangka Barat.
Bahkan sempat terjadi pemukulan terhadap warga Mentok Juliawan Efendi alias Hen (47), yang dilakukan oleh warga desa Bakik Ayung (45). Dan kejadian pemukulan terhadap Hen justru di gudang tempat penimbangan dan penampungan pasir timah milik Niko (35) adiknya pelaku Ayung. Kejadian terjadi tersebut seusai cekcok mulut antar Hen dengan Niko pada pukul 17.30 Wib, Sabtu (2/10/2021) sore.
Persoalan cekcok mulut sampai terjadi pemukulan terhadap Hen warga Mentok ditenggarai masalah saling ingin menguasai hasil produkt pasir timah dari aktifitas penambangan timah ilegal ponton Ti Rajuk dan Selam di laut Bakit dan Cupat perairan Teluk Kelabat Dalam Belinyu dan sekitarnya.
Selain itu, justru terkuak lantaran Hen protes bahwa Niko membawa nama Bong Ming Ming Wakil Bupati Bangka Barat, bahkan menurut keterangan Hen, Niko mengaku diperintahkan oleh Wakil Bupati Bong Ming Ming untuk membeli semua pasir timah dari hasil aktifitas penambangan timah ilegal ponton Ti Rajuk dan Selam di laut Bakit dan Cupat.
Hal tersebut, yang membuat Hen mendatangi Niko, saat itu warga desa Bakit Niko berada di gudang penampungan pasir timah miliknya yang tidak jauh dari pantai Bakik, Diketahui Hen, Gudang Timah Niko sekaligus tempat penimbangan pasir timah untuk menimbang pasir timah atau dibeli olehnya dari penambang Ti Rajuk dan Selam yang beraktifitas di laut Bakit dan Cupat.
Kedatangan Hen menemui Niko untuk bertanya apakah benar Bong Ming Ming wakil Bupati Bangka Barat berkata demikian? Sementara itu, menurut keterangan Niko didalam bukti video, bahwa dirinya berani bertindak untuk membeli atau memonopoli pasir timah dari aktifitas penambangan timah ilegal ponton Ti Rajuk dan Selam di laut Bakit dan Selam mengaku sudah disepakati atau disetujui oleh Bong Ming Ming dan warga Bakit pada pertemuan di Kafe Dukuh Paritiga beberapa hari yang lalu.
Bahkan, dalam pertemuan masyarakat penambang dengan warga desa Bakit yang dihadiri wakil Bupati Bangka Barat Bong Ming Ming sepakat, bahwa yang hanya bisa menambang pasir timah di laut Bakit dan Cupat hanya untuk orang/warga desa Bakit saja, dan hasil pasir timah tidak boleh dibawa keluar atau dibeli oleh kolektor timah lain.
Lantaran tidak terima nama Bong Ming Ming dicatut oleh Niko warga Bakik, dan Hen merasa yakin bahwa Bong Ming Ming tidak berkata seperti itu didalam pertemuan antara masyarakat penambang dengan masyarakat Bakik.
Hal tersebut diketahui Hen setelah sempat menghubungi Bong Ming Ming menyampaikan kepada dirinya, bahwa kewenangan setuju atau tidaknya bukan kewenangan Pemda Bangka Barat, bahkan Kapolda Babel sampai saat ini tidak menyetujui adanya aktifitas Ti Selam di laut Bakik dan Cupat yang merupakan zona RZWP3K Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Ditenggarai saling debat itulah yang memicu terjadinya cekcok mulut antar keduanya (Hen & Niko), lalu Niko pun mengusir Hen untuk meninggalkan gudang dengan maksud agar tidak terjadi keributan.
Hen pun bergegas pulang, namun Hen tidak menyangka saat membelakangi Niko atau akan keluar dari gudang timah, tiba-tiba dari belakang Ayung kakaknya Niko memukul bagian telinga dan pipinya, sehingga sempat mengucur darah dari bagian telinganya.
"Jadi Ayung yang mukul bapak dari belakang ?Apakah ada saksi yang melihat?" tanya jejaring media Pers Babel kepada Juliawan Efendi alias Hen melalui telpon selular, Minggu (03/10/2010) malam.
" Iya pak, saya sampe tepental, dipukul bagian kuping sama pipi sebelah kanan pake tangan, sekitar setengah 6 an sebelum maghrib, ratusan pak yang melihat dan yang ikut campur ada Junai, ada Rudok, ada Peter, dan banyak anak buah Niko, jadi saya diseret dan didorong-dorong disuruh masuk ke mobil disuruh pulang,"ungkap Hen terdengar nada suara seperti menahan rasa sakit.
Lanjutnya, merasa dirinya sakit dan mengeluarkan darah akibat dipukul oleh pelaku Ayung, Hen pun saat itu langsung membuat laporan pengaduan ke Polsek Jebus.
Laporan pengaduannya diterima petugas piket Polsek Jebus Brigadir Hasan dan Kanit Reskrim IPDA Diki Zulkarnaen, namun karena ada luka yang mengeluarkan darah, Hen pun dianjurkan dibawa ke rumah sakit terdekat untuk divisum dan diobati.
" Saya di BAP oleh kepolisian di kamar rumah sakit timah Parit Tiga, saya ceritakan kejadian sebenarnya, dan sampai malam ini saya ditelpon terus oleh nomor tidak dikenal, banyak malah menyuruh saya damai dengan pelaku, kulit saya masih memar dan telinga masih berdengung," ungkapnya.
Terkait persoalan pemukulan terhadap dirinya, Hen menyerahkan persoalan perbuatan tindak pidana yang terjadi kepada Andi Paten SH selaku pengacara hukumnya dan pihak Kepolisian yang menindaklanjutinya.
Diketahui, Niko merupakan kaki tangan atau anak buah kolektor timah/cukong timah AH di desa Bakik Kabupaten Bangka Barat. Dan hampir seluruh hasil produksi pasir timah di wilayah Bakik bahkan dari luar pun dibeli dan ditampung oleh AH.
Saat berita ini dipublish, terkait ada peristiwa keributan antar warga sampai terjadinya pemukulan, redaksi jejaring media ini telah mencoba mengkonfirmasi kepada Kapolsek Jebus Kompol M Sholeh melalui telpon selulernya, meskipun sudah berkali-kali dihubungi belum tersambung.
Sejumlah nama yang disebutkan oleh narasumber dalam berita ini masih dalam upaya dikonfirmasikan.
PAPUA, MHI - Terjadi peristiwa penyerangan terhadap masyarakat yang sedang beribadah di Gereja Gidi Dekai, dimana aksi tersebut disertai dengan melakukan serangkaian pembakaran rumah masyarakat termasuk Hotel Nuri Dekai di wilayah itu yang diduga dilakukan oleh Masyarakat suku Kimiyal pada Minggu, (03/10/2021) sekitar pukul 12.00 WIT, di Kabupaten.Yahukimo.
Hal tersebut dibenarkan oleh Kasat Reskrim Yahukimo, Ipda Rony Samory terkait penyerangan tersebut," Benar telah terjadi penyerangan terhadap masyarakat yang sedang beribadah di Gereja Gidi oleh Masyarakat Suku Kimiyal, sekitar pukul 12.00 WIT" ungkapnya pada wartawan Minggu, (03/10/2021).
Dalam Kronologis kejadiannya Ipda Rony Samory memaparkan bahwa," Pada hari minggu tanggal 03 oktober 2021 sekitar pukul 12.10 wit, telah terjadi Penyerangan terhadap masyarakat yang sedang melaksanakan ibadah minggu di dalam Gereja Gidi dekai, kabupaten Yahukimo,"jelasnya.
Lanjut Kasat Reskrim,"Penyerangan tersebut di lakukan oleh sekelompok masyarakat dari suku Kimyal, masyrakat Kimyal melakukan penyerangan tersebut dengan menggunakan Alat Tradisional berupa panah dan parang serta alat tajam lainnya, dimana pada saat itu masyarakat sedang beribadah di dalam gereja Gidi,"tuturnya.
"Kemudian langsung di serang oleh selempok orang kimiyal tersebut dan juga pada aksi tersebut sekelompok masyarakat kimiyal juga membakar rumah warga dan juga hotel Nuri II milik saudara Ones Pahabol dan kompleks perumahan bambu dua dekai kab. Yahukimo," terang Rony.
"Sementara korban satu orang dari Kepolisian Bripda Imran Idrus (23) terkena senjata tajam di bagian kaki, Yaser Yahuli,dari LSM Tasumat, Kinami Kobak (31), Darius Kobak (41),Yusup Molama (50), Selina Sobolim (30), Fosea Pahabol (56), Alex Sobolim (31),Yeik Kobak (46), Tius Balingga (43) Maus Bayage (51), Hengki Mohi (55) serta satu korban perempuan meninggal dunia, Elisa Balingga," papar Kasat Reskrim Tahukimo.
Terkait kejadian tersebut pihak Polres Yakuhimo melakukan berbagai tindakan observasi di lokasi dengan melakukan penyelidikan para pelaku, memeriksa para saksi termasuk membawa para korban ke Rumah Sakit.
"Kami melakukan berbagai tindakan termasuk melaporkan peristiwa tersebut kepada pimpinan yang dilanjutkan dengan melakukan penyelidikan terhadap para pelaku, memeriksa Saksi-saksi, sementara anggota kami lainnya membawa para korban ke rumah sakit,"tandasnya.
"Anggota masih terus siaga dan melakukan patroli di seputaran kota dekai," pungkas Kasat Reskrim Tahukimo, Ipda Rony Samory.
INDONESIA HISTORY, MHI - Gerakan
30 September (dalam
dokumen pemerintah tertulis Gerakan 30 September/PKI, sering
disingkat G30S/PKI), Gestapu (Gerakan September
Tiga Puluh), atau juga Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah
sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam pada tanggal 30 September sampai awal bulan selanjutnya (1 Oktober) tahun 1965 ketika tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa
orang yang lain dibunuh dalam suatu usaha kudeta (yang hampir sekaligus).
Kejadian (Peristiwa)
Pada 1 Oktober 1965
dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam
upaya kudeta yang
disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa)
yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung.
Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian
mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.
Isu Dewan
Jenderal
Pada
saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan
Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat
yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya.
Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa
untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang
tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi
tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani,
Panjaitan, dan Harjono.
Isu
Dokumen Gilchrist
Dokumen
Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk
Indonesia Andrew Gilchrist beredar hampir bersamaan
waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak
disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah
pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan
adanya "Our local army friends" (Teman tentara lokal kita)
yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak
Barat.
Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI
kepada tentara untuk "ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika
Serikat mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber, salah satunya seperti
yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian
Upheaval", yang dijadikan basis skenario film "The Year of
Living Dangerously", ia sering menukar data-data apa yang ia kumpulkan
untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita.
Isu
Keterlibatan Soeharto
Hingga saat
ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan
tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto
yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima
Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda
dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul
Latief di Rumah Sakit
Angkatan Darat.
Meski
demikian, Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa ini.
Banyak penelitian ilmiah yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional
mengungkap keterlibatan Suharto dan CIA. Beberapa diantaranya adalah, Cornell
Paper, karya Benedict R.O'G. Anderson and Ruth T. McVey (Cornell
University), Ralph McGehee (The Indonesian Massacres and the CIA), Government
Printing Office of the US (Department of State, INR/IL Historical Files,
Indonesia, 1963–1965. Secret; Priority; Roger Channel; Special Handling), John
Roosa (Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup
d'État in Indonesia), Prof. Dr. W.F. Wertheim (Serpihan Sejarah Thn 1965 yang
Terlupakan).
Para Korban
Keenam
pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
Letjen TNI Ahmad
Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi
Tertinggi)
Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II
Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
Mayjen TNI Mas
Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang
Perencanaan dan Pembinaan)
Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I
Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
Brigjen TNI Donald
Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur
Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
Jenderal
TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran
utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan
dia, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha
pembunuhan tersebut.
Para korban
tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok
Gede, Jakarta yang
dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober 1965.
Selain itu
beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal
kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena)
Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Pascapembunuhan
beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu
studio RRI di
Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang
terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman
tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota
“Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan
pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.
Literatur propaganda anti-PKI yang pasca kejadian G30S banyak beredar di masyarakat dan menuding PKI sebagai dalang peristiwa percobaan "kudeta" tersebut.
Di Jawa
Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI membunuh Kolonel Katamso (Komandan Korem
072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta).
Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh
karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada
tanggal 1
Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jenderal PKI Aidit menanggapi
pembentukan Dewan Revolusioner oleh
para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di
Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada
tanggal 6
Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan
nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya,
dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera
menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung
"pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata.
Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada
tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni Soviet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim
pesan khusus untuk Sukarno:
"Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk
mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh
minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap
tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara
mendalam."
Pada
tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto
menjadi Menteri/Panglima Angkatan
Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden
Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah ;
"Saya perintahkan kepada Jenderal
Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat pimpinannya saya berikan kepadamu,
buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan daripada Republik Indonesia, Angkatan
Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca
Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri di atas Trisakti, yang sama sekali
berdiri di atas Nasakom, yang sama sekali berdiri di atas prinsip Berdikari,
yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK.
Manipol-USDEK telah ditentukan oleh
lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan negara Republik Indonesia. Dan oleh
karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada negara Republik Indonesia, maka
dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan
Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau
kita berdiri benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah
revousi kita bisa jaya.
Soeharto, sebagai panglima Angkatan
Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya perintahkan engkau, kerjakan
apa yang kuperintahkan kepadamu dengan sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu
beserta kita dan beserta engkau!"
Pembantaian di Indonesia 1965–1966
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana pada
bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha untuk menghindari
pengutukan atas pembantaian orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang
terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari
rezim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11
Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha
perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain
di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang
berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan
pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk
bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."
Penangkapan
Simpatisan PKI
Beberapa
bulan setelah peristiwa ini, seluruh anggota dan pendukung PKI, orang orang
yang diduga anggota dan simpatisan PKI, seluruh partai kelas buruh yang
diketahui dan ratusan ribu pekerja serta petani Indonesia yang lain dibunuh
atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi.
Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa
Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan
November) dan Bali (bulan
Desember). Jumlah orang yang dibantai belum diketahui secara pasti – perkiraan
yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut
dua sampai tiga juta orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang
menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan
dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi
muslim sayap-kanan seperti
barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan
massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai
Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di
tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir
1965, antara lima ratus ribu sampai dengan satu juta anggota dan
pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu
lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama
sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA menangkapi
semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji
terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan
itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan
persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembap
membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada
kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat.
Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Di
pulau Bali,
yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi
korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku
pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter
Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau
dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di
mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang
sudah hangus.
Di
daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka
untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan
rasialis "anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai
pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian
kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling
sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi.
Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik
pada akhir 1969.
Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak
tahun 1980-an.
Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus
Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25
tahun sejak kudeta itu.
Supersemar
Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas
melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia
memerintah Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai"
untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan
wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk
melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden
tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.
Kepemimpinan
PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto.
Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada
tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh
Sekretaris Kedua PKI Nyoto.
Pertemuan
Jenewa, Swiss
Menyusul
peralihan tampuk kekuasaan ke tangan Suharto, diselenggarakan pertemuan antara
para ekonom orde baru dengan para CEO korporasi multinasional di Swiss, pada
bulan November 1967. Korporasi multinasional diantaranya diwakili
perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical
Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express,
Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman
Brothers, Asian Development Bank, dan Chase Manhattan. Tim Ekonomi Indonesia
menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam
yang melimpah, dan pasar yang besar.
Hal ini
didokumentasikan oleh Jhon Pilger dalam film The New Rulers of World (tersedia
di situs video google) yang menggambarkan bagaimana kekayaan alam Indonesia
dibagi-bagi bagaikan rampasan perang oleh perusahaan asing pasca jatuhnya
Soekarno. Freeport mendapat emas di Papua Barat, Caltex mendapatkan ladang
minyak di Riau, Mobil Oil mendapatkan ladang gas di Natuna, perusahaan lain
mendapat hutan tropis. Kebijakan ekonomi pro liberal sejak saat itu diterapkan.
Hari Peringatan Gerakan 30 September (G-30-S/PKI)
Monumen
Pancasila Sakti, Lubang Buaya
Sesudah
kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan
Gerakan 30 September (G-30-S/PKI). Hari berikutnya, 1 Oktober,
ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto,
biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga
ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap
tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya
dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang
Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi
di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir,
film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang
dilanjutkan.
Pada 29
September – 4 Oktober 2006, para eks
pendukung PKI mengadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa
pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok
Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka
memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas
academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban
tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, dan
Putmainah.
(Red) MHI
Referensi
Crouch 1978, hlm. 101
https://m.liputan6.com/news/read/4076496/top-3-news-cerita-sukitman-saksi-hidup-yang-selamat-dari-lubang-buaya-g30s-pki Cerita
dari Sukitman Saksi Selamat di tragedi lubang buaya G30 September
Artikel
Kompas bertajuk "Sukarno, Malaysia, dan PKI" tanggal Sabtu, 29
September 2007
Soekarno, PKI
& Malaysia di Detik Forum
(JAC Mackie, 1971, hal 214)
Alex Dinuth "Dokumen Terpilih Sekitar G30S/PKI"
Intermasa, Jakarta 1997 ISBN
979-8960-34-3
Setiyono, Budi; "REVOLUSI BELUM SELESAI: Kumpulan Pidato
Presiden Soekarno 30 September 1965"; Nawaksara, Jakarta; 2003.
Baca Juga
Lim
Joey Thay.
Nawaksara 22
Juni 1966, Sidang Umum ke-IV (4) MPRS.
Gerakan Wanita Indonesia.
Monumen Pancasila Sakti.
Letnan
Kolonel Untung.
Dipa
Nusantara Aidit (DN Aidit).
Resimen
Tjakrabirawa (Cakrabirawa).
Lembaga Kebudayaan
Rakyat.
Daftar
tokoh yang meninggal dalam pembersihan komunis Indonesia.
Museum Jenderal
Besar Doktor Abdul Haris Nasution.
Museum Sasmita Loka Jenderal
Tentara Nasional Anumerta (Museum SL-Ahmad Yani).
PADANG, MHI - Organasasi ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Sumbar dan Pergerakan Milenial Minang (PMM) menggelar aksi untuk meminta Penegak hukum dalam hal ini pihak kepolisian untuk mengusut tuntas kasus tanda tangan yang menyeret nama gubernur Sumbar. Dalam aksi tersebut juga di gelar aksi solidaritas terhadap ketua umum IMM Sultra yang mendapat pemukulan dari aparat kepolisian saat melakukan aksi unjuk rasa di Sulawesi Tenggara, (30/09/2021).
Masa Aksi tampak membawa atribut dan berbagai spanduk yang bertuliskan, "Usut Tuntas Kasus Yang Menjerat Nama Gubernur Sumbar Dan Segera Panggil Gubernur Untuk Dimintai Keterangan,"Rabu (29/09/2021)
Dalam guyuran hujan yang lebat puluhan masa aksi berorasi di halaman Mapolda Sumbar dengan tertib, tidak berselang lama pihak kepolisian yang berpakaian preman tiba menorobos barisan mengambil atribut aksi dan terjadi masa aksi menjadi ricuh dengan pihak kepolisian.
Kordinator aksi sekaligus Ketua Umum IMM Cabang Padang Rahmad Hanafi mengungkapkan keterangan kepada awak media, " Pada awalnya kita melakukan aksi dan orasi dengan tertib didalam guyuran hujan yang lebat, tidak berlangsung beberapa lama, tiba-tiba polisi berpakaian preman datang menembus barisan mengambil atribut kami," ungkapnya.
Menurut Rahmad Hanafi,"Akibat, provokasi tersebut masa aksi kita menjadi ricuh, tindakan yang dilakukan pihak kepolisian ini, kami menilai sebagai telah mencederai marwah demokrasi, padahal kita datang untuk mendukung penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus ini dengan cepat agar tidak menjadi gorengan para politisi yang berujung kepada kericuhan publik," tandasnya.
Lebih lanjut ia mengatakan melihat massa aksi yang terprovokasi dan tidak ingin terjadi hal yang diinginkan, mereka memutuskan untuk membubarkan diri untuk sementara dan berdiskusi sembari menenangkan massa, "Melihat masa kami sudah tenang kami memutuskan melanjutkan aksi dalam guyuran hujan yang lebat," ucapnya.
Sejalan dengan Hanafi, Ketua Umum Pergerakan Milenial Minang (PMM) Fikri Haldi menekankan, "Kami tidak akan gentar untuk mendorong pihak kepolisian Agar profesional dalam bekerja untuk mengusut tuntas kasus ini, dan meminta segera memanggil gubernur Sumbar untuk dimintai keterangan,"tekannya.
Ketum PMM juga menegaskan bahwa,"Kami mengecam tindakan represif yang kami terima dan kami akan mengkonsolidasikan untuk turun kembali, karena kami melihat ada kejanggalan dengan lambannya proses kasus ini," tegas Fikri Haldi.
PANGKAL PINANG, MHI - Penambangan timah ilegal dikawasan hutan produksi maupun lindung di Bangka Belitung akhir-akhir ini secara terang-terangan dihajar oleh pelaku tambang yang biasanya mengatasnamakan masyarakat penambang atau warga setempat, (27/09/2021).
Ironisnya aktifitas penambangan timah rakyat itu justru tidak peduli dengan kepentingan masyarakat sekitar yang terdampak dengan adanya penambangan timah tersebut, justru keberadaan penambangan timah rakyat meresahkan dan mengganggu kelangsungan lingkungan yang ada.
Tampaknya oknum warga tersebut tidak ada takutnya, padahal oknum warga yang mengkoordinasikan penambangan timah rakyat jenis ponton Ti apung mengetahui bahwa area yang mereka tambang dalam kawasan hutan lindung pantai.
Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun oleh Tim Awak Media, Penambangan timah rakyat jenis ponton Ti apung dikawasan hutan lindung pantai terpantau telah beraktifitas cukup lama dikawasan daerah aliran sungai (DAS) alur muara sungai Kayu Ara Lubuk Besar, tepatnya pada titik koordinat X 106°39.113' E di kecamatan Lubuk Besar, Kabupaten Bangka Tengah.
Diketahui, penambangan timah rakyat di DAS Sungai Kayu Ara Lubuk Besar tersebut disinyalir dikoordinir oleh Jan (45) warga desa Perlang, bahkan sebelumnya Jan sudah setahun mengkoordinir penambangan timah dilokasi kebun sawit milik Andi (40) warga desa Air Bara yang berbatas dengan DAS Sungai Kayu Ara dalam satu hamparan kawasan Hutan Lindung (HL).
Lantaran, diduga aktifitas penambangan timah yang dikoordinir Jan dikebun Sawit milik Andi tidak pernah diterbitkan/dirazia oleh pihak APH setempat (Polres Bangka Tengah-Red) dan Gakum KLHK, meskipun kebun sawit tersebut dalam kawasan hutan lindung.
Barangkali dikarenakan tidak tersentuh oleh Kepolisian dan Gakum KLHK itulah membuat diri Jan berani pasang badan untuk mengkoordinir penambangan timah ilegal di kawasan DAS Sungai Kayu Ara alur muara Laut Lubuk Besar, dan penambangan timah ilegal di DAS ini sudah berjalan satu bulan.
Bahkan, terkesan menantang aparat penegak hukum (APH) setempat untuk menindaknya, hal itu terungkapkan saat Tim Awak Media berhasil mewawancarai Suwandi salah satu warga Desa Perlang yang resah lantaran penambangan Ti apung ilegal tersebut berada di aliran DAS Sungai Kayu Ara muara laut Perlang mengganggu lalu lalang kapal perahu nelayan tradisional Desa Perlang.
Keresahan Suwandi warga Desa Perlang yang berprofesi sebagai nelayan bukan tanpa alasan, lantaran aliran sungai Kayu Ara tersebut tempat keluar masuk kapal perahu nelayan untuk pergi melaut mencari ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka.
Bahkan, seringkali kapal peruha mereka kandas dikarenakan terjadi pedangkalan (sedimentasi) akibat aktifitas Ti apung dari pembuangan pasir bercampur tanah di alur sungai Kayu Ara yang dilewati para nelayan tradisional desa Perlang Kecamatan Lubuk Besar.
"Kami tidak tau lagi mau menggadu kemana pak? Melapor ke Prakat Desa sudah? tapi mereka diam saja, mungkin banyak orang besar yang ikut main, jadi semua pilih diam? perahu kami susah untuk masuk muara sungai saat mau melaut," ungkap Suwandi, yang juga Ketua Nelayan Desa Perlang Kayu Ara, kepada Tim Awak Media beberapa waktu yang lalu, Jum'at (24/09/2021).
Dikatakannya, bahwa dirinya dan nelayan yang lain menyayangkan adanya tambang timah Ilegal jenis ponton Ti apung atau Ti rajuk yang beroperasi di Kawasan Hutan Lindung Pantai. Selainnya menambah terjadi penangkalan di hulu sungai, namun dikhawatirkan juga akan membuat debit air sungai tidak terkontrol ketika datang hujan lebat menyebabkan terjadinya banjir.
Dibeberkannya, aktifitas Ti Rajuk dari alur DAS ke bibir/daratan pantai hanya 300 meter, bahkan jika sedang beraktifitas semua Ti Rajuk tersebut suara mengalahkan suara mesin perahu nelayan.
" Kalau serentak mereka nyalakan mesin Ti, telinga terasa mau pecah pak," keluh Suwandi.
Tak cuma itu, informasi lainnya yang didapat oleh Tim Awak Media, bahwa pasir timah yang dihasilkan dari penambangan illegal ini dijual bebas ke kolektor timah ilegal atau biasa di bos/cukong timah wilayah Kabupaten Bangka Tengah.
Salah satu yang sempat disebutkan oleh narasumber Tim Awak Media," Ini yang berani membeli dan menampung pasir timah dari penambangan ilegal..semua dikoordinir oleh Jan," ungkap AN warga desa Nibung Kecamatan Koba, Kabupaten Bangka Tengah, (25/09/2021).
Bahkan, suatu ketika terdengar oleh Tim Awak Media bahwa, Jan pernah sesumbar kepada masyarakat setempat bahwa memang sakti dan hebat aparat hukum bisa menghentikan aktifitas penambangan timah ilegal yang dikoordinir olehnya.
"Hebat, kalau aparat hukum bisa menutup aktifitas tambang, buktinya sudah dilaporkan ke mana-mana Ti Rajuknya jalan terus,"sindir J salah satu narasumber Tim Awak Media di Babel yang meminta identitas tidak ditulis.
Pantauan Awak Media di lapangan saat melakukan investigasi ke lokasi tersebut terdapat papan pemberitahuan yang menerangkan bahwa kawasan tersebut adalah Hutan Lindung Lubuk Besar yang tertera dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bangka Tengah.
Sementara dalam muatan tertulis di papan pemberitahuan tersebut menegaskan bahwa sebelum menuju ke lokasi penambangan timah ilegal yang dikoordinir oleh Jan warga Desa Perlang berjarak 2 km itu bahwa daerah tersebut dalam Kawasan Hutan Lindung.
Sebagaimana diketahui bahwa Kawasan Hutan Lindung merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
Berdasarkan titik koordinat X 106°39.113' E dan peta satelit Ref-798-Babel-Maret 17 bahwa kawasan tersebut dalam kawasan HL Lubuk Besar.
Saat berita ini dipublish oleh redaksi, pihak kepolisian setempat dan Gakum KLHK masih dalam upaya konfirmasi dan belum mendapatkan jawaban. Demikian halnya dengan sejumlah nama yang sempat disebutkan oleh narasumber kepada jejaring media Pers Babel masih dalam upaya konfirmasi.
JAKARTA, MHI - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan informasi terkait penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi pemberian hadiah atau janji terkait penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi (TPK) yang ditangani oleh KPK di Kabupaten Lampung Tengah.
"Bahwa dengan telah dilakukannya pengumpulan berbagai bahan keterangan mengenai dugaan tindak pidana korupsi dimaksud, KPK melanjutkan ke tahap penyelidikan yang kemudian ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup," ujar ketua KPK H. Firli Bahuri, Sabtu (25/09/2021) pagi.
"KPK sejak awal September 2021 meningkatkan status perkara ini ke Penyidikan dengan mengumumkan tersangka ; AZ Wakil Ketua DPR RI Periode 2019-2024. Adapun, dalam perkara ini Tim Penyidik yang dipimpin oleh Direktur Penyidikan melakukan upaya paksa penangkapan terhadap AZ dengan langsung mendatangi rumah kediamannya yang berada di Jakarta Selatan,"tuturnya.
"Mengingat yang bersangkutan meminta penundaan pemanggilan dan pemeriksaan hari ini karena mengaku sedang menjalani isoman sebab sempat berinteraksi dengan seseorang yang dinyatakan positif covid-19,"tukisnya.
"Untuk itu, KPK mengkonfirmasi dan melakukan pengecekan kesehatan yang bersangkutan yang dilakukan oleh Tim Penyidik dengan melibatkan petugas medis," ungkap Firli.
"Selanjutnya, pengecekan kesehatan terhadap AZ berlangsung di rumah pribadinya dengan hasil ternyata menunjukkan non-reaktif covid-19 sehingga bisa dilakukan pemeriksaan oleh KPK. Tim KPK kemudian membawa AZ ke Gedung Merah Putih untuk dilakukan pemeriksaan," jelasnya.
"Adapun, dalam konstruksi perkara diduga telah terjadi pada sekitar Agustus 2020, AZ menghubungi SRP dan meminta tolong mengurus kasus yang melibatkan AZ dan AG yang sedang dilakukan penyelidikannya oleh KPK.Selanjutnya, SRP menghubungi MH untuk ikut mengawal dan mengurus perkara tersebut. Setelah itu, MH menyampaikan pada AZ dan AG untuk masing-masing menyiapkan uang sejumlah Rp2 Miliar," papar Ketua KPK.
"Dan kemudian," Lanjut Ketua KPK,"SRP juga menyampaikan langsung kepada AZ terkait permintaan sejumlah uang dimaksud yang kemudian disetujui oleh AZ. Setelah itu, MH diduga meminta uang muka terlebih dahulu sejumlah Rp300 juta kepada AZ.Untuk teknis pemberian uang dari AZ dilakukan melalui transfer rekening bank dengan menggunakan rekening bank milik MH. Selanjutnya SRP menyerahkan nomor rekening bank dimaksud kepada AZ," jelasnya.
"Maka, sebagai bentuk komitmen dan tanda jadi, AZ dengan menggunakan rekening bank atas nama pribadinya diduga mengirimkan uang sejumlah Rp200 juta ke rekening bank MH secara bertahap," Imbuhnya.
"Masih di bulan Agustus 2020, SRP juga diduga datang menemui AZ di rumah dinasnya di Jakarta Selatan untuk kembali menerima uang secara bertahap yang diberikan oleh AZ, sebanyak tiga kali, pertama USD 100.000, kedua SGD 17.600 dan ketiga SGD 140.500. Uang-uang dalam bentuk mata uang asing tersebut kemudian ditukarkan oleh SRP dan MH ke money changer untuk menjadi mata uang rupiah dengan menggunakan identitas pihak lain,"terang H.Firli Bahuri.
Selanjutnya,"Sebagaimana komitmen awal pemberian uang dari AZ kepada SRP dan MH sebesar Rp 4 Miliar, yang telah direalisasikan baru sejumlah Rp3,1 Miliar,"jelas ketua KPK.
H. Firli Bahuri menegaskan bahwa,"Atas perbuatannya tersebut, Tersangka AZ disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi."tegasnya,
"Setelah penyidik memeriksa sekitar 20 orang saksi dan alat bukti lain maka Tim Penyidik melakukan penahanan kepada tersangka selama 20 hari pertama, terhitung mulai tanggal 24 September 2021 s/d 13 Oktober 2021 di Rutan Polres Jakarta Selatan," sambungnya.
Lanjutnya,"Sebagai langkah antisipasi penyebaran covid-19,Tersangka akan dilakukan isolasi mandiri selama 14 hari pada Rutan dimaksud," tandasnya.
"KPK dan segenap anak bangsa sangat menyayangkan perbuatan para pelaku korupsi termasuk yang dilakukan oleh AZ.....sebagai penyelenggara negara dan wakil rakyat yang telah menerima kepercayaan oleh rakyat tidak semestinya melakukan perbuatan tersebut, dan selayaknya AZ bisa menjadi contoh untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi," ungkap Ketua KPK, tutur Ketua KPK
"Untuk itu," tegas Ketua KPK,"Kembali kami menegaskan bahwa KPK tidak segan menindak penyelenggara negara yang melakukan perbuatan tindak pidana korupsi tanpa pandang bulu demi mewujudkan Indonesia yang bersih dan bebas dari korupsi,"tandasnya.
Ketua KPK juga menyampaikan bahwasanya terkait pemanggilan seseorang. Tentunya penyidik menyampaikan panggilan karena kepentingan penyidikan sehingga dengan keterangan dan bukti bukti akan membuat terangnya suatu perkara.
"KPK berharap, setiap orang yang dipanggil akan memenuhi panggilan sebagai wujud perhormatan atas tegak dan tertibnya hukum dan keadilan. KPK tidak boleh menunda keadilan karena menunda keadilan adalah juga ketidakadilan," tegas Firli.
Bahwa KPK juga menjunjung tinggi dan menganut prinsip ; the sun rise and the sun set principle, kami sungguh-sungguh memahami harapan rakyat kepada KPK untuk pemberantasan korupsi karenya penyidik KPK terus bekerja keras termasuk meminta keterangan para pihak.
"Rakyat menaruh harapan kepada KPK dan tentu jawabannya sangat tergantung kepada kita semua selaku anak bangsa yang hormat dan patuh hukum," pungkas Ketua KPK H. Firli Bahuri.