PANGKALPINANG, MHI – Selama bertahun-tahun lamanya PT Pulomas Sentosa perusahaan yang bergerak dibidang penambangan pasir, dan mengantongi izin kegiatan pekerjaan normalisasi alur, muara dan kolam Pelabuhan Perikanan Nusantara di Sungailiat Kabupaten Bangka. Namun kegiatan normalisasi alur dan muara Air Kantung Sungailiat yang dikelola oleh PT Pulomas Sentosa dengan tujuan pendalaman alur sungai atau muara agar tidak terjadi pendangkalan, ternyata tidak memberikan dampak yang bermanfaat dan berimbang bagi kehidupan dan lingkungan setempat, (13/01/2021).
Hal itulah yang dirasakan oleh masyarakat pesisir dan nelayan Sungailiat atau setempat, bahkan kerapkali saat masyarakat pesisir dan nelayan akan melaut untuk memenuhi kebutuhan sandang dan pangannya dengan menggunakan perahu/kapal motor sering kandas, kapal tenggalam, dan tubrukan antara kapal saat memasuki alur muara Air Kantung lantaran terjadi pendangkalan di alur sungai atau maura Air Kantung keluar masuknya perahu/kapal motor nelayan.
Hal ini disebabkan salah satunya gundukan pasir yang mengunungkan ditepian sepadan muara yang menjadi stockfile pasir yang sengaja dikumpulkan oleh perusahaan dari aktifitas pengerukan atau pengisap pasir di alur muara tersebut. Kemudian pasir yang mengunung sedikit-sedikit menurun kembali alur muara dan sehingga terjadi penyempitan muara Pelabuhan Perikanan Nusantara Air Kantung.
Tidak dipungkiri ini salah satu penyebab terjadi pendangkalan kembali dan akhirnya pekerjaan normalisasi tidak kunjungan selesai, selain itu pasir yang sudah mengunung itu ada di stockfile lambat atau tidak cepat dipindahkan atau angkut ke tempat lainnya.
Atas pertimbangan kepentingan hajat dan keselamatan rakyat/masyarakat diatas segala-gala, publik pun menilai tindakan Gubernur Kepulauan Bangka Belitung H Erzaldi Rosman Djohan langkah yang tepat mencabut izin berusaha PT Pulomas Sentosa untuk meneruskan kegiatan pekerjaan normalisasi alur, muara dan kolam Pelabuhan Perikanan Nusantara di Sungailiat Kabupaten Bangka.
Tentunya kebijakan Gubernur Kepulauan Bangka Belitung mencabut izin berusaha PT Pulomas Sentosa sudah melalui proses evaluasi dan kajian terhadap beraktifitas atau beroperasinya pengelolaan normalisasi alur atau muara Air Kantung selama bertahun-tahun yang dilakukan oleh perusahaan penambangan pasir tersebut.
Melalui Surat Keputusan (SK) Nomor 188.44/720/DLHK/2021 tentang pemberian sanksi administratif berupa pencabutan izin berusaha kepada PT Pulomas Sentosa tertanggal 3 Agustus 2021 dan Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) nomor 188.4/01/LHK/DPMPTSP/2021 tertanggal 23 Agustus 2021 tentang pencabutan Keputusan Kepala DPMPTSP nomor 188.4/131/LH/DPMPTSP/2017 tentang pemberian izin lingkungan kegiatan normalisasi alur, muara dan kolam Pelabuhan Perikanan Nusantara di Kabupaten Bangka oleh PT Pulomas Sentosa.
Meskipun sebelumnya Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sendiri diketahui sudah beberapa kali memberi teguran agar PT Pulomas Sentosa agar melakukan perubahan sistem pekerjaan yang terencana dan mengupayakan teknologi yang modern dan canggih.
Justru yang terjadi PT Pulomas Sentosa masih menggunakan sistem teknologi yang terbilang ketinggalan sehingga lebih mementingkan keuntungan perusahaan ketimbang kepentingan masyarakat pesisir dan nelayan.
Kendati diketahui, PT Pulomas Sentosa melalui Kantor Hukum Adistya Sungara dan Patner melayangkan gugatan ke PTUN Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, lantaran tidak terima izin berusaha kliennya dicabut sepihak tanpa ada mediasi terlebih dahulu dengan mempertimbangkan bahwa klien merasa sudah berbuat terlebih dahulu dalam membantu masyarakat dan pemerintah daerah tanpa menggunakan dana anggaran pendapatan belanja daerah (APBD).
Seperti dilansir oleh sejumlah media online di Bangka Belitung PT Pulomas Sentosa telah melayangkan gugatannya ke PTUN Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, usai menggelar jumpa pers, Senin (11/10/2021).
Mengetahui Erzaldi Rosman Djohan Gubernur Kepulauan Bangka Belitung orang yang dicintai oleh masyarakat pesisir dan nelayan tidak berdiam diri, mereka pun menunjukkan empati dan simpatinya memberikan dukungannya kepada Erzaldi Rosman Djohan sepenuhnya memberikan kuasa untuk berjuang bersama-sama melawan praktek kapitalis yang mengorban kepentingan rakyat kecil.
Terkait akan hal itu perwakilan masyarakat nelayan pesisir Sungailiat, Kabupaten Bangka yang didampingi LBH Pusat Dukungan Kebijakan Publik Bangka Belitung (PDKP Babel) yang digawangi Jon Ganesha memberikan dukungan kepada Gubernur Erzaldi Rosman atas kebijakannya dalam melakukan pencabutan izin berusaha PT. Pulomas Sentosa.
Dalam jumpa pers, perwakilan Nelayan Pesisir Sungailiat, yang disampaikan oleh Asdar (50) warga nelayan Sungailiat mengatakan, bahwa sejak 10 November 2020 pihaknya telah menyatakan perasaan ketidakadilan, keresahan dan ancaman serius atas keberadaan dua bukit tumpukan pasir Pulomas yang ada di ujung Muara Air Kantung yang merupakan satu-satunya alur perairan terjadi penyempitan dan pengdangkalan bagi kapal nelayan untuk memasuki Pelabuhan Perikanan Nusantara Sungailiat.Selasa (12/10/2021) di salah satu rumah makan kota Pangkalpinang.
“Kami telah jenuh dan kesal selalu diatasnamakan, setiap kali protes atas kerusakan lingkungan perairan kami layangkan kepada pemerintah, justru perusahaan mendapatkan perpanjangan rekomendasi pekerjaan pengerukan. Berkali-kali sudah terjadi kapal kandas, kapal tenggalam, tubrukan antara kapal ketika mendekati ujung Muara Air Kantung. Hendaklah ini dihentikan,”ungkap Asdar.
Dalam jumpa pers tersebut, atas nama perwakilan Nelayan pesisir Sungailiat, Asdar pun membacakan pernyataan sikap dukungan masyarakat nelayan pesisir kepada Gubernur Erzaldi Rosman, yakni : 1. Memberikan kuasa sepenuhnya kepada Gubernur Provinsi Kep. Bangka Belitung untuk melawan gugatan yang diadakan PT Pulomas Sentosa. 2. Menuntut ganti rugi pemulihan kerusakan lingkungan alur pelayaran nelayan di Muara Air Kantung kepada PT Pulomas Sentosa. 3. Meminta Gubernur Provinsi Kep. Bangka Belitung menentapkan status bencana non alam yang disebabkan longsor bukit pasir pulomas sentosa telah menyebabkan alur perairan menjadi dangkal mengakibatkan kapal-kapal nelayan tidak dapat keluar dari pelabuhan menuju laut tangkapan ikan maupun memasuki pelabuhan untuk pengepakan ikan.
“Demikianlah, pernyataan sikap ini disampaikan pada tanggal 12 Oktober 2021 sebagai dukungan terhadap Keputusan Gubernur Bangka Belitung tentang Pencabutan Perizinan Berusaha PT Pulomas Sentosa Sebagai Pelaksana Kegiatan Normalisasi Muara Air Kantung dan Kolam Pelabuhan Perikanan Nusantara Sungailiat serta Dukungan terhadap Perlindungan Lingkungan Hidup di ujung Muara Air Kantung Sungailiat Bangka,” pungkasnya.
JAKARTA,
MHI - "Fungsi dewan pers
adalah sebagai fasilitator dalam penyusunan peraturan-peraturan di bidang pers
sebagaimana tertuang dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f Undang-Undang Pers.
Ketentuan tersebut bukanlah ketentuan yang sumir untuk ditafsirkan karena
rumusannya sudah sangat jelas," Demikian disampaikan oleh Direktur Jenderal
Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo Usman Kansong dalam sidang pengujian
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers), pada Senin
(11/10/2021) secara daring di Ruang Sidang Pleno MK.
Dikatakan
Usman, peran dewan pers dalam memfasilitasi penyusunan peraturan di bidang pers
adalah memberikan suatu kemudahan bagi seluruh organisasi pers dalam berbagai
masukan dan menyalurkan aspirasi. Menurutnya, dengan memperhatikan definisi
kata memfasilitasi tersebut maka maknanya dewan pers tidak bertindak sebagai
lembaga pembentuk atau regulator, karena berdasarkan ketentuan a quo UU
Pers penyusunan peraturan-peraturan di bidang pers dilakukan oleh
organisasi-organisasi pers.
“Hal
tersebut telah jelas disebutkan setelah kata memfasilitasi dalam
ketentuan a quo terdapat frasa organisasi-organisasi pers
dalam menyusun peraturan-peraturan pers. Sehingga rumusan tersebut tidak dapat
ditafsirkan menghalangi hak organisasi pers dalam menyusun peraturan pers.
Namun justru dewan pers sebagai pihak yang memfasilitasi organisasi pers
tersebut,” ujar Usman menanggapi Perkara Nomor 38/PUU-XIX/2021 tersebut.
Menyoal
Konstitusionalitas Fungsi Dewan Pers dalam Menyusun Peraturan
"Oleh karena
itu," sambung Usman, "Ketentuan a quo sama sekali tidak menghambat
hak organisasi pers yang dalam hal ini organisasi pers juga terdiri dari
individu atau perorangan didalamnya untuk mengeluarkan pikiran secara lisan dan
tulisan. Sehingga hal tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 dan
tidak menghambat hak individu untuk memajukan diri secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa dan negaranya."
“Sesungguhnya
ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf f yang mengatur organisasi pers yang mengatur
hak organisasi pers tidak tepat didalikan sebagai ketentuan yang merugikan
pemohon sebagai perorangan WNI. Hal ini apabila pemohon mendalilkan bahwa
organisasi telah dirugikan maka harus dibuktikan dengan dokumen yang sah untuk
mewakili organisasi tersebut,” pungkas Usman.
Wartawan
Perbaiki Permohonan Uji UU Pers
Sebelumnya,
para Pemohon menguji fungsi Dewan Pers dalam menyusun berbagai peraturan
di bidang pers sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f dan Pasal 15
ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers).
Pemohon mendalilkan adanya ketidakjelasan tafsir Pasal 15 ayat (5) UU Pers
telah merugikan hak konstitusional para Pemohon. Pemohon yang memiliki
perusahaan dan organisasi pers berbadan hukum merasa terhalangi untuk membentuk
Dewan Pers independen serta untuk memilih dan dipilih sebagai anggota
Dewan Pers secara demokratis. Tak hanya itu, ketentuan tersebut dinilai Pemohon
menyebabkan hak untuk menetapkan dan mengesahkan anggota Dewan Pers yang dipilih
secara independen juga terhalangi.
Para Pemohon
menyelenggarakan Kongres Pers Indonesia pada 2019 silam yang menghasilkan
terpilihnya Anggota Dewan Pers Indonesia. Akan tetapi, karena adanya Pasal 15
ayat (5) UU Pers, hasil Kongres Pers Indonesia tersebut tidak mendapatkan
respon dan tanggapan dari Presiden Indonesia. Selain itu, keberadaan Pasal 15
ayat (2) huruf f UU Pers harus ditinjau kembali.
Hal ini karena
organisasi-organisasi pers kehilangan haknya dalam menyusun peraturan-peraturan
di bidang pers. Sebab, lanjutnya, dalam pelaksanaannya, pasal a quo dimaknai
oleh Dewan Pers sebagai kewenangannya berdasarkan fungsi Dewan Pers untuk
menyusun dan menetapkan peraturan di bidang pers.
Sehingga keberlakuan Pasal 15
ayat (2) huruf f UU 40/1999 bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28C ayat (2),
Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2)
UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang
pers oleh masing-masing organisasi pers” karena membatasi hak
organisasi-organisasi pers mengembangkan kemerdekaan pers dan menegakan
nilai-nilai dasar Demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak
asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan, melakukan pengawasan, kritik,
koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum,
memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Oleh karena
itu, dalam petitumnya, para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 15
ayat (2) huruf f UU Pers bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dalam menyusun
peraturan-peraturan di bidang pers oleh masing-masing organisasi pers”. Pemohon
juga meminta MK untuk menyatakan Pasal 15 ayat (5) Pers bertentangan dengan UUD
1945 sepanjang tidak dimaknai “Keputusan Presiden bersifat administratif sesuai
usulan atau permohonan dari organisasi-organisasi pers, perusahaan-perusahaan
pers dan wartawan yang terpilih melalui mekanisme kongres pers yang
demokratis”.
BIMA, MHI - Telah terjadi peristiwa Tindak Pidana penganiayaan berat dengan mengakibatkan korban meninggal dunia yang dilakukan oleh Sukardin (53), pada Rabu (06/10/2021) pukul 11.30 wita.
Kapolres Bima AKBP Heru Sasongko, S.I.K melalui Kabag Ops AKP Herman, S.H dalam kronologisnya mengatakan, "Pada saat korban A.n Sri Rahmayati bersama Nursadah dan Muhaimin sedang nonton tv di rumahnya tiba-tiba datang pelaku A.n Sukardin dengan membawa sebilah parang dan mengamuk kemudian membancok para korban. mendengar teriakan para korban, datang masyarakat yang ingin menangkap pelaku. namun pelaku lari ke jalan raya sambil memegang sajam berupa parang," jelasnya.
"Kemudian dengan sigap datang Anggota Polsek Bolo yang di pimpin oleh Bripka Suhendra untuk membantu warga mengamankan pelaku di mana pelaku masih memegang sajam,"ujar Kabag Ops.
"Selanjutnya anggota melakukan negosiasi dengan pelaku agar pelaku menyerahkan diri, namun pelaku berupaya bunuh diri dengan cara menikam perutnya sendiri dengan menggunakan parang yang di pegangnya sampai isi perutnya keluar." Terangnya.
"Anggota terus melakukan negoisasi dan akhirnya pelaku mau menyerahkan sajam yang di pegang, sehingga anggota dapat mengamankan pelaku"
"Namun pada saat pelaku hendak di evakuasi," sambung Herman,"Masyarakat yang begitu banyak melakukan pelemparan ke arah pelaku sehingga pelaku berontak dan merampas senpi anggota. Kemudian Pelaku melakukan penembakan ke arah anggota An. Bripka Suhendra."
Herman mengungkapkan, "Karena pelaku sudah menguasai senpi, untuk menghindari jatuhnya korban yang lebih banyak sehingga anggota lain melakukan penembakan guna melumpuhkan pelaku. setelah itu pelaku terjatuh dan anggota langsung mengamankan senpi dari tangan pelaku,"ungkapnya.
"Pada saat pelaku mau di bawa ke Rumah Sakit Sondosia masyarakat sudah banyak dan memukuli pelaku sehingga pelaku meninggal dunia di halaman rumah sakit Sondosia,"terangnya.
Dari kejadian tersebut Sri Rahmayanti, 13 Tahun, pelajar, alamat dusun Ntandadeu Desa Sondosia Kec. Bolo Kab. Bima ( Korban Meninggal Dunia), Nursadah, 20 tahun, Mahasiswi, Dusun Ntandadeu, Desa Sondosia, Kec.Bolo, Kab. Bima mengalami luka berat, Muhaimin, 17 tahun, pelajar, Dusun Ntandadeu, Desa Sondosia, Kec Bolo, Kab. Bima mengalami luka ringan, Bripka Suhendra,Jabatan Kaspkt Polsek Bolo, Alamat Rt 04 Desa Tambe Kec Bolo Kab. Bima mengalami luka tembakan dan luka bagian belakang kepala( Korban dirawat di RSUD Bima dan rencana di Rujuk ke Mataram)
"Saat ini anggota kita Bripka Sehendra sedang dirawat dan rencana akan di rujuk ke Mataram,"jelas Kabag Ops .
Selanjutnya untuk meredam kejadian tersebut tindakan yang dilakukan Polres Bima yaitu melakukan pengamanan TKP serta barang bukti dan melakukan evakuasi korban menuju rumah sakit.
"Untuk menjaga situasi tetap kondusif kita berkoordinasi dengan TNI, Pemerintah serta Tokoh Masyarakat setempat', ucapnya
Sampai saat ini pengamanan masih dilakukan oleh Personil Polres Bima beserta jajaranya. Sementara situasi di Desa Sondosia, Kecamatan Bolo terlihat aman terkendali.
MAJALENGKA, MHI - Dua petani tebu asal Majalengka tewas mengenaskan. Korban diserang dan dibacok sekelompok orang bersenjata tajam di lahan tebu milik PG Jatitujuh, Indramayu, Jawa Barat, sementara kejadian tersebut berlokasi di perbatasan Majalengka-Indramayu atau tepatnya di Desa Kerticala, Kecamatan Tukdana, Indramayu, Senin (04/10/2021).
Informasi yang dihimpun, dua warga Majalengka yang tewas bernama Suhenda dan Yayan. Jasad dua korban itu dibawa ke Puskesmas Jatitujuh Majalengka.
Yaya Sumarya, saksi mata menjelaskan bahwa, awalnya kedua korban dan para pekerja tengah membajak lahan tebu. Tiba-tiba pihaknya diserang oleh sekelompok orang dari salah satu forum masyarakat.
"Di lokasi, kami pukul 9.30 WIB melakukan pembajakan lahan. Pada pukul 10.30 itu kemudian tiba-tiba ada penyerangan. Akibatnya ada korban dua orang," kata Yaya di Puskemas Jatitujuh Majalengka.
"Saat itu seperti perang. Kami lagi garap lahan, kemudian diserang. Semua pekerja berlarian dan korban ini jatuh ke parit langsung di bacok oleh mereka," ujar dia menambahkan.
Melihat korban yang terluka parah, Yaya dan pekerja lainnya berusaha membantu korban. Namun nyawa Suhenda dan Yayan tak tertolong saat tiba di Puskesmas Jatitujuh.
"Luka bacok di kepala, leher dan tangan," ucap Yaya.
Tentang kronologi kejadian Yaya mengungkapkan bahwa peristiwa tersebut berkaitan dengan sengketa lahan tebu HGU milik PG Jatitujuh yang masih dalam status persengketaan.
"Kronologinya karena kemitraan menggarap lahan tebu HGU milik PG Jatitujuh yang masih bersengketa. Kemudian sekelompok forum masyarakat menyerang. Terjadilah bentrok antara petani kemitraan dengan kelompok itu,"pungkas Yaya Sumarya.
Berdasarkan informasi yang didapat Polisi dan TNI lakukan penangkapan dan penyisiran pelaku kerusuhan hingga ke lahan tebu.Dikabarkan Sejumlah orang sudah diamankan pasca bentrok di lahan tebu Kecamatan Tukdana Indramayu.
BANGKA BARAT, MHI - Melonjak harga timah di pasaran bukan saja memberi dampak yang baik atau kesejahteraan bagi masyarakat penambangan di Bangka Belitung itu sendiri, namun sebaliknya tidak sedikit pula yang tidak mensyukuri nikmat yang ada, sehingga menimbulkan sifat rakus, serakah dan tamak pada diri masyarakat penambang, (03/10/2021).
Bukannya untuk saling berbagi sesama, atau membantu orang atau masyarakat lainnya, sehingga terjalin silahturahmi yang erat antar sesama, dan saling menjaga suasana konduksif dan aman. Namun sayangnya justru sifat serakah dan tamak yang ditunjukkan untuk saling menguasai pasir timah yang dihasilkan dari aktifitas penambangan rakyat jenis ponton Ti apung/rajuk dan selam.
Bahkan, tidak malunya saling klaim mengatasnamakan warga/masyarakat setempat atas hak untuk menambang pasir timah di daerah tersebut, padahal aktifitas ponton Ti Rajuk dan Selam yang menambang pasir timah diwilayah tersebut ilegal atau tanpa mengantongi payung hukum (legalitas) yang melindungi mereka melaksanakan aktifitas penambangan.
Meskipun tersurat pemerintah daerah dan Aparat Penegak Hukum (APH) di Bangka Belitung terkesan tutup mata dan telinga, hal itu mereka lakukan tak lainnya untuk rakyat Bangka Belitung, agar dapat memenuhi kebutuhan sandang dan pangan di saat pandemi covid 19.
Namun sayangnya kesempatan ini rusak akibat ulah segelintir orang yang serakah dan tamak disaat baru beberapa hari beraktifitas penambangan timah rakyat jenis ponton Ti Rajuk dan Selam di laut Bakik dan Cupat dalam kawasan perairan Teluk Kelabat Dalam laut Belinyu dan sekitarnya.
Justru terdengar kabar terjadi keributan antar warga yang sama-sama menikmati penjarah ilegal terhadap kekayaan sumber daya alam dengan mengatasnamakan masyarakat di Kabupaten Bangka Barat.
Bentrok Penambang Ilegal Libatkan Wakil Bupati Bangka Barat
Hal tersebut terungkap, saat Jejaring Media Pers Babel yang tergabung dalam Kantor Berita Online Bangka Belitung (KBO Babel) mendapatkan informasi dan data sertai bukti video yang dihimpun, bahwa telah terjadi keributan sesama masyarakat penambang atau warga desa Bakit dengan warga Mentok di Kabupaten Bangka Barat.
Bahkan sempat terjadi pemukulan terhadap warga Mentok Juliawan Efendi alias Hen (47), yang dilakukan oleh warga desa Bakik Ayung (45). Dan kejadian pemukulan terhadap Hen justru di gudang tempat penimbangan dan penampungan pasir timah milik Niko (35) adiknya pelaku Ayung. Kejadian terjadi tersebut seusai cekcok mulut antar Hen dengan Niko pada pukul 17.30 Wib, Sabtu (2/10/2021) sore.
Persoalan cekcok mulut sampai terjadi pemukulan terhadap Hen warga Mentok ditenggarai masalah saling ingin menguasai hasil produkt pasir timah dari aktifitas penambangan timah ilegal ponton Ti Rajuk dan Selam di laut Bakit dan Cupat perairan Teluk Kelabat Dalam Belinyu dan sekitarnya.
Selain itu, justru terkuak lantaran Hen protes bahwa Niko membawa nama Bong Ming Ming Wakil Bupati Bangka Barat, bahkan menurut keterangan Hen, Niko mengaku diperintahkan oleh Wakil Bupati Bong Ming Ming untuk membeli semua pasir timah dari hasil aktifitas penambangan timah ilegal ponton Ti Rajuk dan Selam di laut Bakit dan Cupat.
Hal tersebut, yang membuat Hen mendatangi Niko, saat itu warga desa Bakit Niko berada di gudang penampungan pasir timah miliknya yang tidak jauh dari pantai Bakik, Diketahui Hen, Gudang Timah Niko sekaligus tempat penimbangan pasir timah untuk menimbang pasir timah atau dibeli olehnya dari penambang Ti Rajuk dan Selam yang beraktifitas di laut Bakit dan Cupat.
Kedatangan Hen menemui Niko untuk bertanya apakah benar Bong Ming Ming wakil Bupati Bangka Barat berkata demikian? Sementara itu, menurut keterangan Niko didalam bukti video, bahwa dirinya berani bertindak untuk membeli atau memonopoli pasir timah dari aktifitas penambangan timah ilegal ponton Ti Rajuk dan Selam di laut Bakit dan Selam mengaku sudah disepakati atau disetujui oleh Bong Ming Ming dan warga Bakit pada pertemuan di Kafe Dukuh Paritiga beberapa hari yang lalu.
Bahkan, dalam pertemuan masyarakat penambang dengan warga desa Bakit yang dihadiri wakil Bupati Bangka Barat Bong Ming Ming sepakat, bahwa yang hanya bisa menambang pasir timah di laut Bakit dan Cupat hanya untuk orang/warga desa Bakit saja, dan hasil pasir timah tidak boleh dibawa keluar atau dibeli oleh kolektor timah lain.
Lantaran tidak terima nama Bong Ming Ming dicatut oleh Niko warga Bakik, dan Hen merasa yakin bahwa Bong Ming Ming tidak berkata seperti itu didalam pertemuan antara masyarakat penambang dengan masyarakat Bakik.
Hal tersebut diketahui Hen setelah sempat menghubungi Bong Ming Ming menyampaikan kepada dirinya, bahwa kewenangan setuju atau tidaknya bukan kewenangan Pemda Bangka Barat, bahkan Kapolda Babel sampai saat ini tidak menyetujui adanya aktifitas Ti Selam di laut Bakik dan Cupat yang merupakan zona RZWP3K Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Ditenggarai saling debat itulah yang memicu terjadinya cekcok mulut antar keduanya (Hen & Niko), lalu Niko pun mengusir Hen untuk meninggalkan gudang dengan maksud agar tidak terjadi keributan.
Hen pun bergegas pulang, namun Hen tidak menyangka saat membelakangi Niko atau akan keluar dari gudang timah, tiba-tiba dari belakang Ayung kakaknya Niko memukul bagian telinga dan pipinya, sehingga sempat mengucur darah dari bagian telinganya.
"Jadi Ayung yang mukul bapak dari belakang ?Apakah ada saksi yang melihat?" tanya jejaring media Pers Babel kepada Juliawan Efendi alias Hen melalui telpon selular, Minggu (03/10/2010) malam.
" Iya pak, saya sampe tepental, dipukul bagian kuping sama pipi sebelah kanan pake tangan, sekitar setengah 6 an sebelum maghrib, ratusan pak yang melihat dan yang ikut campur ada Junai, ada Rudok, ada Peter, dan banyak anak buah Niko, jadi saya diseret dan didorong-dorong disuruh masuk ke mobil disuruh pulang,"ungkap Hen terdengar nada suara seperti menahan rasa sakit.
Lanjutnya, merasa dirinya sakit dan mengeluarkan darah akibat dipukul oleh pelaku Ayung, Hen pun saat itu langsung membuat laporan pengaduan ke Polsek Jebus.
Laporan pengaduannya diterima petugas piket Polsek Jebus Brigadir Hasan dan Kanit Reskrim IPDA Diki Zulkarnaen, namun karena ada luka yang mengeluarkan darah, Hen pun dianjurkan dibawa ke rumah sakit terdekat untuk divisum dan diobati.
" Saya di BAP oleh kepolisian di kamar rumah sakit timah Parit Tiga, saya ceritakan kejadian sebenarnya, dan sampai malam ini saya ditelpon terus oleh nomor tidak dikenal, banyak malah menyuruh saya damai dengan pelaku, kulit saya masih memar dan telinga masih berdengung," ungkapnya.
Terkait persoalan pemukulan terhadap dirinya, Hen menyerahkan persoalan perbuatan tindak pidana yang terjadi kepada Andi Paten SH selaku pengacara hukumnya dan pihak Kepolisian yang menindaklanjutinya.
Diketahui, Niko merupakan kaki tangan atau anak buah kolektor timah/cukong timah AH di desa Bakik Kabupaten Bangka Barat. Dan hampir seluruh hasil produksi pasir timah di wilayah Bakik bahkan dari luar pun dibeli dan ditampung oleh AH.
Saat berita ini dipublish, terkait ada peristiwa keributan antar warga sampai terjadinya pemukulan, redaksi jejaring media ini telah mencoba mengkonfirmasi kepada Kapolsek Jebus Kompol M Sholeh melalui telpon selulernya, meskipun sudah berkali-kali dihubungi belum tersambung.
Sejumlah nama yang disebutkan oleh narasumber dalam berita ini masih dalam upaya dikonfirmasikan.
PAPUA, MHI - Terjadi peristiwa penyerangan terhadap masyarakat yang sedang beribadah di Gereja Gidi Dekai, dimana aksi tersebut disertai dengan melakukan serangkaian pembakaran rumah masyarakat termasuk Hotel Nuri Dekai di wilayah itu yang diduga dilakukan oleh Masyarakat suku Kimiyal pada Minggu, (03/10/2021) sekitar pukul 12.00 WIT, di Kabupaten.Yahukimo.
Hal tersebut dibenarkan oleh Kasat Reskrim Yahukimo, Ipda Rony Samory terkait penyerangan tersebut," Benar telah terjadi penyerangan terhadap masyarakat yang sedang beribadah di Gereja Gidi oleh Masyarakat Suku Kimiyal, sekitar pukul 12.00 WIT" ungkapnya pada wartawan Minggu, (03/10/2021).
Dalam Kronologis kejadiannya Ipda Rony Samory memaparkan bahwa," Pada hari minggu tanggal 03 oktober 2021 sekitar pukul 12.10 wit, telah terjadi Penyerangan terhadap masyarakat yang sedang melaksanakan ibadah minggu di dalam Gereja Gidi dekai, kabupaten Yahukimo,"jelasnya.
Lanjut Kasat Reskrim,"Penyerangan tersebut di lakukan oleh sekelompok masyarakat dari suku Kimyal, masyrakat Kimyal melakukan penyerangan tersebut dengan menggunakan Alat Tradisional berupa panah dan parang serta alat tajam lainnya, dimana pada saat itu masyarakat sedang beribadah di dalam gereja Gidi,"tuturnya.
"Kemudian langsung di serang oleh selempok orang kimiyal tersebut dan juga pada aksi tersebut sekelompok masyarakat kimiyal juga membakar rumah warga dan juga hotel Nuri II milik saudara Ones Pahabol dan kompleks perumahan bambu dua dekai kab. Yahukimo," terang Rony.
"Sementara korban satu orang dari Kepolisian Bripda Imran Idrus (23) terkena senjata tajam di bagian kaki, Yaser Yahuli,dari LSM Tasumat, Kinami Kobak (31), Darius Kobak (41),Yusup Molama (50), Selina Sobolim (30), Fosea Pahabol (56), Alex Sobolim (31),Yeik Kobak (46), Tius Balingga (43) Maus Bayage (51), Hengki Mohi (55) serta satu korban perempuan meninggal dunia, Elisa Balingga," papar Kasat Reskrim Tahukimo.
Terkait kejadian tersebut pihak Polres Yakuhimo melakukan berbagai tindakan observasi di lokasi dengan melakukan penyelidikan para pelaku, memeriksa para saksi termasuk membawa para korban ke Rumah Sakit.
"Kami melakukan berbagai tindakan termasuk melaporkan peristiwa tersebut kepada pimpinan yang dilanjutkan dengan melakukan penyelidikan terhadap para pelaku, memeriksa Saksi-saksi, sementara anggota kami lainnya membawa para korban ke rumah sakit,"tandasnya.
"Anggota masih terus siaga dan melakukan patroli di seputaran kota dekai," pungkas Kasat Reskrim Tahukimo, Ipda Rony Samory.
INDONESIA HISTORY, MHI - Gerakan
30 September (dalam
dokumen pemerintah tertulis Gerakan 30 September/PKI, sering
disingkat G30S/PKI), Gestapu (Gerakan September
Tiga Puluh), atau juga Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah
sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam pada tanggal 30 September sampai awal bulan selanjutnya (1 Oktober) tahun 1965 ketika tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa
orang yang lain dibunuh dalam suatu usaha kudeta (yang hampir sekaligus).
Kejadian (Peristiwa)
Pada 1 Oktober 1965
dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam
upaya kudeta yang
disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa)
yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung.
Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian
mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.
Isu Dewan
Jenderal
Pada
saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan
Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat
yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya.
Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa
untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili oleh Soekarno. Namun yang
tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan jenderal-jenderal tersebut, terjadi
tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen Ahmad Yani,
Panjaitan, dan Harjono.
Isu
Dokumen Gilchrist
Dokumen
Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk
Indonesia Andrew Gilchrist beredar hampir bersamaan
waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak
disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah
pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan
adanya "Our local army friends" (Teman tentara lokal kita)
yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak
Barat.
Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI
kepada tentara untuk "ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika
Serikat mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber, salah satunya seperti
yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian
Upheaval", yang dijadikan basis skenario film "The Year of
Living Dangerously", ia sering menukar data-data apa yang ia kumpulkan
untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita.
Isu
Keterlibatan Soeharto
Hingga saat
ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan
tersebut. Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto
yang saat itu menjabat sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima
Komando Strategis Cadangan Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda
dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul
Latief di Rumah Sakit
Angkatan Darat.
Meski
demikian, Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa ini.
Banyak penelitian ilmiah yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional
mengungkap keterlibatan Suharto dan CIA. Beberapa diantaranya adalah, Cornell
Paper, karya Benedict R.O'G. Anderson and Ruth T. McVey (Cornell
University), Ralph McGehee (The Indonesian Massacres and the CIA), Government
Printing Office of the US (Department of State, INR/IL Historical Files,
Indonesia, 1963–1965. Secret; Priority; Roger Channel; Special Handling), John
Roosa (Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup
d'État in Indonesia), Prof. Dr. W.F. Wertheim (Serpihan Sejarah Thn 1965 yang
Terlupakan).
Para Korban
Keenam
pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
Letjen TNI Ahmad
Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi
Tertinggi)
Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II
Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
Mayjen TNI Mas
Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang
Perencanaan dan Pembinaan)
Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I
Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
Brigjen TNI Donald
Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur
Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)
Jenderal
TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran
utama, selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan
dia, Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha
pembunuhan tersebut.
Para korban
tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok
Gede, Jakarta yang
dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober 1965.
Selain itu
beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal
kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J. Leimena)
Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
Pascapembunuhan
beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu
studio RRI di
Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang
terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman
tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota
“Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan
pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.
Literatur propaganda anti-PKI yang pasca kejadian G30S banyak beredar di masyarakat dan menuding PKI sebagai dalang peristiwa percobaan "kudeta" tersebut.
Di Jawa
Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI membunuh Kolonel Katamso (Komandan Korem
072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta).
Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh
karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada
tanggal 1
Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jenderal PKI Aidit menanggapi
pembentukan Dewan Revolusioner oleh
para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di
Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada
tanggal 6
Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan
nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya,
dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera
menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung
"pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata.
Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada
tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni Soviet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim
pesan khusus untuk Sukarno:
"Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk
mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh
minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap
tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara
mendalam."
Pada
tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto
menjadi Menteri/Panglima Angkatan
Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden
Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah ;
"Saya perintahkan kepada Jenderal
Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat pimpinannya saya berikan kepadamu,
buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan daripada Republik Indonesia, Angkatan
Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca
Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri di atas Trisakti, yang sama sekali
berdiri di atas Nasakom, yang sama sekali berdiri di atas prinsip Berdikari,
yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK.
Manipol-USDEK telah ditentukan oleh
lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan negara Republik Indonesia. Dan oleh
karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada negara Republik Indonesia, maka
dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita. Oleh Angkatan
Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara. Hanya jikalau
kita berdiri benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah
revousi kita bisa jaya.
Soeharto, sebagai panglima Angkatan
Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya perintahkan engkau, kerjakan
apa yang kuperintahkan kepadamu dengan sebaik-baiknya. Saya doakan Tuhan selalu
beserta kita dan beserta engkau!"
Pembantaian di Indonesia 1965–1966
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana pada
bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha untuk menghindari
pengutukan atas pembantaian orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang
terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari
rezim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11
Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha
perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain
di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang
berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan
pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk
bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."
Penangkapan
Simpatisan PKI
Beberapa
bulan setelah peristiwa ini, seluruh anggota dan pendukung PKI, orang orang
yang diduga anggota dan simpatisan PKI, seluruh partai kelas buruh yang
diketahui dan ratusan ribu pekerja serta petani Indonesia yang lain dibunuh
atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi.
Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa
Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan
November) dan Bali (bulan
Desember). Jumlah orang yang dibantai belum diketahui secara pasti – perkiraan
yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut
dua sampai tiga juta orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang
menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan
dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi
muslim sayap-kanan seperti
barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan
massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai
Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di
tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir
1965, antara lima ratus ribu sampai dengan satu juta anggota dan
pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu
lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama
sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA menangkapi
semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji
terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan
itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan
persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembap
membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada
kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat.
Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Di
pulau Bali,
yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi
korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku
pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter
Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau
dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di
mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang
sudah hangus.
Di
daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka
untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan
rasialis "anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai
pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian
kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling
sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi.
Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik
pada akhir 1969.
Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak
tahun 1980-an.
Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus
Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25
tahun sejak kudeta itu.
Supersemar
Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas
melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia
memerintah Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai"
untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan
wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk
melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden
tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.
Kepemimpinan
PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto.
Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada
tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh
Sekretaris Kedua PKI Nyoto.
Pertemuan
Jenewa, Swiss
Menyusul
peralihan tampuk kekuasaan ke tangan Suharto, diselenggarakan pertemuan antara
para ekonom orde baru dengan para CEO korporasi multinasional di Swiss, pada
bulan November 1967. Korporasi multinasional diantaranya diwakili
perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical
Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express,
Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman
Brothers, Asian Development Bank, dan Chase Manhattan. Tim Ekonomi Indonesia
menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam
yang melimpah, dan pasar yang besar.
Hal ini
didokumentasikan oleh Jhon Pilger dalam film The New Rulers of World (tersedia
di situs video google) yang menggambarkan bagaimana kekayaan alam Indonesia
dibagi-bagi bagaikan rampasan perang oleh perusahaan asing pasca jatuhnya
Soekarno. Freeport mendapat emas di Papua Barat, Caltex mendapatkan ladang
minyak di Riau, Mobil Oil mendapatkan ladang gas di Natuna, perusahaan lain
mendapat hutan tropis. Kebijakan ekonomi pro liberal sejak saat itu diterapkan.
Hari Peringatan Gerakan 30 September (G-30-S/PKI)
Monumen
Pancasila Sakti, Lubang Buaya
Sesudah
kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan
Gerakan 30 September (G-30-S/PKI). Hari berikutnya, 1 Oktober,
ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto,
biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga
ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap
tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya
dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang
Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi
di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir,
film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang
dilanjutkan.
Pada 29
September – 4 Oktober 2006, para eks
pendukung PKI mengadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa
pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok
Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka
memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas
academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban
tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, dan
Putmainah.
(Red) MHI
Referensi
Crouch 1978, hlm. 101
https://m.liputan6.com/news/read/4076496/top-3-news-cerita-sukitman-saksi-hidup-yang-selamat-dari-lubang-buaya-g30s-pki Cerita
dari Sukitman Saksi Selamat di tragedi lubang buaya G30 September
Artikel
Kompas bertajuk "Sukarno, Malaysia, dan PKI" tanggal Sabtu, 29
September 2007
Soekarno, PKI
& Malaysia di Detik Forum
(JAC Mackie, 1971, hal 214)
Alex Dinuth "Dokumen Terpilih Sekitar G30S/PKI"
Intermasa, Jakarta 1997 ISBN
979-8960-34-3
Setiyono, Budi; "REVOLUSI BELUM SELESAI: Kumpulan Pidato
Presiden Soekarno 30 September 1965"; Nawaksara, Jakarta; 2003.
Baca Juga
Lim
Joey Thay.
Nawaksara 22
Juni 1966, Sidang Umum ke-IV (4) MPRS.
Gerakan Wanita Indonesia.
Monumen Pancasila Sakti.
Letnan
Kolonel Untung.
Dipa
Nusantara Aidit (DN Aidit).
Resimen
Tjakrabirawa (Cakrabirawa).
Lembaga Kebudayaan
Rakyat.
Daftar
tokoh yang meninggal dalam pembersihan komunis Indonesia.
Museum Jenderal
Besar Doktor Abdul Haris Nasution.
Museum Sasmita Loka Jenderal
Tentara Nasional Anumerta (Museum SL-Ahmad Yani).